Mengapa Bisnis Telko Bisa Menjadi Game Changer?

by -47 Views
Mengapa Bisnis Telko Bisa Menjadi Game Changer?

Industri telekomunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai bidang, serta peningkatan jangkauan dan kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, guru besar bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa industri telekomunikasi saat ini memegang peran yang sangat strategis dalam perekonomian suatu negara.

Namun, saat ini industri telekomunikasi menghadapi tantangan yang sangat besar. Salah satu kendalanya adalah tingginya beban regulatory cost. Jika pemerintah tidak dapat membuat regulasi yang dapat mengurangi regulatory cost, maka Indonesia dapat turun peringkat menjadi watch out di Harvard Business Review. Saat ini, Indonesia berada di posisi break out, namun masih memiliki kendala.

Kendala-kendala yang dihadapi mencakup literasi digital yang rendah, kesenjangan digital di masyarakat, infrastruktur telekomunikasi yang kurang baik, kompleksitas regulasi dalam penggelaran infrastruktur telekomunikasi, dan regulatory cost yang tinggi. Jika regulatory cost ini tinggi, maka hal ini akan mempengaruhi peringkat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah untuk menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi nasional.

Saat ini, Indonesia berada di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN dalam hal kualitas internet. Bahkan secara global, Indonesia berada di peringkat 98 dari 143 negara dalam hal kualitas dan kecepatan internet. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas internet di Indonesia adalah tingginya regulatory cost operator telekomunikasi. Hal ini dapat melemahkan daya saing industri telekomunikasi nasional dan perekonomian Indonesia.

Berdasarkan data dari 4 operator besar di Indonesia, terlihat bahwa beban BHP frekuensi terhadap pendapatan seluler cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh formula perhitungan BHP frekuensi yang selalu menggunakan angka inflasi.

Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa komposisi biaya BHP frekuensi terhadap revenue yang ideal agar industri telekomunikasi dapat tumbuh berkelanjutan adalah di bawah 5%. Jika komposisi biaya tersebut di atas 10%, maka hal ini dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.

Untuk mengurangi regulatory cost, Poppy menyarankan agar pemerintah memberikan insentif seperti keringanan BHP frekuensi. Pemerintah juga dapat memberikan kemudahan perizinan dalam mendirikan tower, penggelaran fiber optic, dan berbagai kemudahan lainnya. Salah satu contoh yang dapat dijadikan acuan adalah India, yang memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% untuk perusahaan yang mengembangkan jaringan 5G.

Poppy juga menyarankan agar pemerintah memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% selama 3 tahun bagi perusahaan telekomunikasi yang mengembangkan teknologi baru seperti 5G. Hal ini karena pemanfaatan teknologi 5G masih terbatas pada sektor tertentu dan ekosistemnya perlu dibangun. Diharapkan dengan adanya insentif ini, kualitas internet di Indonesia dapat meningkat dan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.