Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto]
“Samora Machel adalah salah satu pemimpin yang memiliki paham politik yang berbeda dengan saya, tetapi saya menghormatinya karena kepemimpinannya.”
Pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, beberapa pemimpin perlawanan gerilya anti-kolonialisme di Afrika muncul ke permukaan. Saya menghormati Machel karena ia merupakan pemimpin militer yang ulung – memiliki karisma, keberanian, dan kemampuan untuk menguasai berbagai keterampilan yang diperlukan dalam perang gerilya. Selain itu, saya juga menghormati kemampuannya dalam menyediakan pendidikan dasar bagi rakyat yang dipimpinnya.
Machel lahir pada tahun 1933 dari keluarga petani di pedesaan Mozambik. Meskipun keluarganya terdiskriminasi dalam sistem kasta yang berlaku di koloni tersebut, ayahnya berhasil membangun usaha pertanian yang relatif sukses.
Machel hanya menyelesaikan kelas empat SD sebelum pindah ke ibu kota. Di sana, ia melanjutkan pendidikan sebagai perawat dan bekerja sebagai pembantu di rumah sakit. Pengalaman bekerja di rumah sakit inilah yang membuat semangat gerakan anti-kolonialnya muncul. Machel marah karena perawat kulit hitam hanya mendapat sebagian kecil dari upah yang diberikan kepada perawat kulit putih yang melakukan pekerjaan yang sama.
Machel kemudian memutuskan untuk meninggalkan ibu kota dan bergabung dengan kelompok perjuangan anti-kolonial. Setelah bergabung dengan Front Pembebasan Mozambik atau Frelimo, Machel mengajukan diri untuk dinas militer. Ini membuatnya terbang ke Aljazair dan mengikuti pelatihan paramiliter. Saat kembali ke Tanzania, ia ditugaskan sebagai penanggung jawab kamp pelatihan militer Frelimo.
Pada saat Frelimo mulai melakukan konfrontasi militer terbuka pada tahun 1964, Machel menyeberang kembali ke Mozambik dan menjadi komandan gerilya yang terampil. Pengalaman perang di Mozambik membuat dia naik pangkat, dan diangkat menjadi kepala tentara pembebasan pada tahun 1966.
Pada tahun 1969, Machel terpilih sebagai satu-satunya pimpinan/presiden Frelimo setelah pemimpin dan pendiri Frelimo terbunuh oleh bom parcel.
Machel kemudian menghabiskan sebagian besar waktunya mengelola Frelimo dari Tanzania dan terbukti sebagai ahli taktik yang cerdik. Dia mengatur pergerakan Frelimo di lapangan, mempertahankan semangat juang anggota, dan terus-menerus membuat frustrasi tentara Portugis dengan taktik gerilya.
Setelah Revolusi Anyelir pada April 1974 menggulingkan pemerintahan di Lisbon, pasukan Portugis memilih untuk tetap berada di barak mereka, memungkinkan Machel memperluas area kendali ke seluruh pedesaan Mozambik. Pada bulan Juni 1975, Machel kembali ke Mozambik dan menyatakan kemerdekaan penuh untuk Republik Rakyat Mozambik.
Sebagai presiden pertama Mozambik, Machel menghadapi tantangan ekonomi dan politik yang tidak mudah. Dia juga menghadapi kebencian kesukuan dari banyak pemimpin Afrika. Setelah memenangkan perjuangan Mozambik melawan kolonialisme, Machel merasa berkewajiban membantu gerakan pembebasan Afrika lainnya, seperti Zimbabwe dan Afrika Selatan.
Pada Bulan Oktober 1986, pesawat yang ditumpangi Machel jatuh saat kembali dari pertemuan pimpinan Afrika di Zambia. Dia berusia 53 tahun. Jandanya, Graca Machel, kemudian menikah dengan Nelson Mandela pada tahun 1998.
Samora Machel adalah salah satu pemimpin yang memiliki paham politik yang berbeda dengan saya, tetapi saya menghormatinya karena kepemimpinannya.
Di pertengahan hingga akhir abad ke-20, beberapa pemimpin perlawanan gerilya anti-kolonialisme di Afrika muncul ke permukaan. Saya menghormati Machel karena ia pemimpin militer yang ulung – memiliki karisma, keberanian, dan kemampuan untuk menguasai berbagai keterampilan yang diperlukan dalam perang gerilya. Selain itu, saya juga menghormati kemampuannya dalam menyediakan pendidikan dasar bagi rakyat yang dipimpinnya.