Birgadir Jenderal TNI (Purn) Aloysius Benedictus Mboi

by -34 Views
Birgadir Jenderal TNI (Purn) Aloysius Benedictus Mboi

Ditulis oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]

Dokter Ben Mboi, saya bertemu dengannya setelah beliau pensiun dari karier militer dan jabatan Gubernur Nusa Tenggara Timur. Di kalangan TNI, beliau dikenal sebagai dokter militer yang turut serta dalam pasukan baret merah (RPKAD) yang diterjunkan di Merauke selama operasi pembebasan Irian Barat. Saat itu, komandan kompi yang diterjunkan adalah Kapten Benny Moerdani, yang kemudian menjabat sebagai Menhan dan Pangab pada tahun 1980-an. Pak Ben Mboi adalah salah satu dokter yang ikut dalam operasi di Merauke bersama Pak Benny Moerdani.

Selama beberapa pertemuan dengan Pak Ben Mboi, beliau menceritakan banyak kisah menarik. Salah satunya adalah kisah saat naik pesawat Hercules untuk terjun di Irian Barat. Ketika itu, Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang kemudian menjadi Jenderal dan Presiden Republik Indonesia, yang melepas mereka. Pasukan yang dipimpin oleh Pak Benny Moerdani, termasuk Pak Ben Mboi yang saat itu masih berpangkat Letnan Satu, diposisikan di samping pesawat Hercules yang mesinnya sudah menyala. Di bawah desing mesin pesawat yang sangat bising, Pak Harto menyampaikan sambutan singkat.

Menurut Pak Ben Mboi, kata-kata Pak Harto adalah: “Sebentar lagi kalian akan berangkat untuk diterjunkan di daerah Merauke dalam rangka operasi merebut kembali Irian Barat. Dua tim sebelum kalian sudah diterjunkan beberapa minggu lalu dan sampai hari ini tidak ada kontak dengan mereka. Kemungkinan kalian tidak akan kembali lebih dari 50%. Saya beri waktu tiga menit, jika ada di antara kalian yang ragu-ragu, yang tidak mau berangkat, silakan keluar dari barisan.”

Menurut Pak Ben Mboi, tidak ada yang keluar dari barisan. Pak Harto melihat jamnya dan setelah tiga menit memerintahkan semua pasukan untuk naik pesawat. Menurut Pak Ben Mboi, jika Pak Harto memberi waktu lebih dari 5 menit, mungkin banyak yang akan keluar dari barisan.

Kisah itu merupakan contoh heroik namun agak lucu. Di dalam hati, Pak Ben Mboi pikir bahwa jika orang-orang diberi lebih banyak waktu untuk berpikir, mungkin ada yang berpikir, “Wah, 50% kemungkinan saya tidak akan kembali ke keluarga saya.” Mungkin itulah semangat heroisme yang melanda seluruh bangsa Indonesia saat itu.

Ada kisah menarik lainnya yang dia ceritakan setelah pensiun dari jabatan gubernur. Anak buah dan stafnya baru menyadari bahwa Pak Ben Mboi tidak memiliki rumah. Mereka pun mulai menggalang dana dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah serta beberapa pengusaha lokal untuk membangun rumah untuk Pak Ben Mboi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak prajurit hebat yang mengabdikan seluruh karirnya untuk negara, namun saat pensiun mereka tidak memiliki rumah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan korupsi atau mencari keuntungan pribadi. Mereka sangat dihormati oleh bawahannya selama bertahun-tahun, sehingga para anak buah ini menemukan cara untuk mendapatkan cukup uang untuk membangun rumah untuk komandan mereka setelah komandan mereka pensiun.

Salah satu pelajaran yang saya terima dari Pak Ben Mboi adalah ketika beliau mengatakan: “Prabowo, jika ingin menjadi pemimpin yang baik, saya hanya bisa anjurkan 2 hal. Pertama, cintai rakyatmu dan kedua, gunakan akal sehatmu, kau tidak akan meleset.”

Pesan itu sangat saya ingat. Sebagai pemimpin, kita harus mencintai rakyat kita dan menggunakan akal sehat. Tidak perlu terlalu mempermainkan, namun dengan menggunakan akal sehat, kita akan berhasil. Dari sanalah saya selalu mengingat pepatah Jawa “Ojo Rumongso Iso, Nanging Iso Rumongso.” Seorang pemimpin seharusnya tidak merasa hebat, namun harus merasakan perasaan, penderitaan, dan kebutuhan orang lain. Itulah filosofi yang sangat mendalam bagi saya. Dari Pak Ben Mboi, “Cintai Rakyatmu, Gunakan Akal Sehat” itu dipakai sebagai pegangan saya.

Source link