The Challenges and Tough Decisions We Face

by -76 Views
The Challenges and Tough Decisions We Face

Oleh: Prabowo Subianto, diambil dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 223-227, edisi softcover keempat.

Bagi saya, terlibat dalam politik berarti menerima pengorbanan—tenaga, waktu, dan emosi. Namun, tanpa terlibat dalam politik, tidak akan ada cara bagi saya untuk meningkatkan kehidupan banyak orang.

Saya yakin bahwa perbaikan substansial dalam kehidupan warga negara kita tidak dapat dicapai hanya dengan keluhan dan kritik semata. Dan kita tidak dapat memperbaiki bangsa kita hanya dengan diam dari pinggir atau dengan menyalahkan tanpa tindakan.

Beberapa dari Anda yang membaca buku ini mungkin sudah terlibat dalam politik, atau setidaknya memahami dan peduli dengan politik nasional kita. Mungkin ada yang tidak. Bagi mereka yang belum, saya mendorong Anda untuk merenungkan hal berikut.

Ada waktu dalam hidup ketika kita harus membuat pilihan sulit. Apakah kita berdiri untuk kebenaran, atau kita membenarkan kebohongan?

Apakah kita dengan tegas mempertahankan integritas dan kemerdekaan negara kita serta nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Atau, apakah kita tunduk pada godaan moneter, menjual nilai-nilai, diri kita, identitas kita, dan martabat kita?

Pilihan seperti ini sangat sulit. Pada tahun 1945, pemimpin kita menghadapi dilema seperti itu: menyatakan kemerdekaan atau menunggu untuk diberikannya oleh penjajah. Mereka yang menganjurkan deklarasi segera mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa mereka.

Pada malam 10 November 1945, rakyat dan pemimpin Surabaya dihadapkan pada pilihan sulit: menyerah pada tuntutan Inggris dengan menyerahkan senjata mereka pada 9 November atau menghadapi serangan dari kekuatan besar dunia saat itu.

Bayangkan betapa terhancurnya kebanggaan nasional kita jika para pemimpin dan warga Surabaya menyerah. Bagaimana jika Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan semua pemimpin Jawa Timur dan Surabaya menyerah pada tuntutan asing? Di mana letak martabat kita sekarang?

Krisis besar bangsa kita pada tahun 1965 juga menghadirkan pilihan yang tegas: mempertahankan Pancasila atau tunduk pada ideologi asing bagi negara kita, komunisme?

Demikian pula, selama era Reformasi pada tahun 1998, banyak pemimpin kita dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan sistem yang tidak demokratis atau dengan berani memperjuangkan reformasi dan demokrasi?

Selama 20 tahun perjalanan politik saya, saya selalu menyampaikan pesan yang terkandung dalam buku ini. Sepanjang jalan, banyak lawan mencoba mencemarkan nama saya, menggambarkan saya sebagai pemarah dan suka kekerasan.

Namun, setelah puluhan tahun, saya telah membuktikan komitmen saya terhadap perdamaian. Sebagai mantan tentara yang telah menyaksikan perang dan korban-korbannya, yang telah melihat teman-teman jatuh dan harus memberitahu keluarga mereka tentang kematian mereka, saya selalu memilih jalan perdamaian. Serangan fitnah yang dilemparkan pada saya sama sekali tidak berdasar. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Indonesia, padahal bagian dari keluarga saya adalah orang Kristen. Di antara orang-orang yang dekat dengan saya—pengawal, ajudan, dan sekretaris—ada yang beragama Kristen.

Sebagai mantan tentara TNI, saya bersumpah untuk membela semua warga Indonesia, tanpa memandang suku, agama, atau ras. Saya telah mengorbankan nyawa saya, dan banyak bawahan saya dari latar belakang yang beragam telah gugur di bawah komando saya.

Bagaimana mungkin saya bisa mengkhianati sumpah saya dan melupakan pengorbanan bawahan saya?

Saya juga secara salah difitnah sebagai anti-Tionghoa, meskipun selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah semacam ini adalah sisi buruk dari politik. Saya selalu mendorong teman-teman dan pendukung saya untuk tetap bersabar dan tenang. Jangan menanggapi kebencian dengan kebencian, kejahatan dengan kejahatan, fitnah dengan fitnah. Meskipun kita tetap sabar, kita juga harus siap—secara mental, fisik, dan spiritual. Kepada mereka yang membaca buku ini, saya meminta Anda untuk merenungkan pendapat, sikap, dan respon Anda di tengah malam.

Saya bertanya apakah kita bersama-sama akan membela kebenaran atau tunduk pada kebohongan, penipuan, ketidakadilan?

Dan dalam hari-hari mendatang, setelah merenungkan, saya mengundang Anda untuk melangkah menuju masa depan. Saya telah memilih untuk berjuang atas dasar konstitusi. Saya menolak untuk tunduk pada keadaan yang tidak adil dan salah. Saya percaya bahwa apa yang Indonesia alami saat ini sangat dipengaruhi oleh campur tangan asing. Beberapa negara ingin melihat Indonesia lemah, hancur, dan miskin.

Saya memiliki bukti kuat atas keterlibatan mereka. Namun, kita harus tetap tenang. Kita perlu bersabar dan percaya pada kekuatan kita sendiri.

Source link