Tentara menjadi orang terkaya di Jawa, menguasai tanah di pinggir Jakarta

by -34 Views
Tentara menjadi orang terkaya di Jawa, menguasai tanah di pinggir Jakarta

Jakarta, CNBC Indonesia – Ini adalah kisah Augustijn Michiels. Selama 20 tahun, dia dikenal sebagai tentara VOC dan Hindia Belanda.

Di tengah jalan, dia memilih pensiun dini dengan pangkat mayor untuk mengurusi tanah yang dimiliki. Dari tanah-tanah itu dia kemudian menjelma dari semula tentara biasa menjadi orang terkaya di Jawa.

Keturunan budak

Augustijn Michiels lahir pada 6 Januari 1769. Dia merupakan keturunan budak yang bermula dari kakeknya, Titus van Bengal.

Titus adalah budak asal Bengal, India, yang dibebaskan saat tiba di Batavia pada 2 Juli 1694. Pembebasan ini disertai juga perubahan nama menjadi Titus Michiels.

Titus kemudian menikah dan punya tiga anak, antara lain Titus, Andries, dan Jonathan. Nama terakhir adalah pengubah derajat keluarga, dari budak sengsara jadi keluarga penuh hormat.

Kesuksesan Jonathan diperoleh secara tak sengaja. Saat membeli tanah di Cileungsi pada 1776, dia menemukan bahwa tanahnya tempat burung walet bersarang. Sarang-sarang burung walet itu kemudian jadi ‘harta karun’ bernilai tinggi.

Jonathan kemudian menikah dan punya 5 anak, antara lain: Andries, Pieter, Augustijn, Elizabeth, dan Geetruida. Kelak, anak ke-3, Augustijn, yang paling tercatat dalam sejarah sebagai tokoh berpengaruh karena kekayaannya.

Atas posisi seperti ini, Augustijn praktis sudah kaya dari lahir. Tapi, jalan hidup membuatnya mengikuti jejak ayah: menjadi seorang tentara.

Pada 1787, dia masuk dalam kompi Papangers, kumpulan tentara asal Filipina yang bekerja untuk VOC. Total dia bertugas selama 20 tahun, sebelum berhenti pada 1807 dengan pangkat mayor. Kelak, dia juga disebut Mayor Jantje.

Pensiun Dini & Kaya Raya

Menurut Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016:352), alasan pemberhentian Augustijn dari dinas militer disebabkan keinginannya mengurusi tanah. Saat aktif jadi prajurit, dia memang sudah diwarisi tanah oleh ayahnya.

Warisan ini makin banyak usai saudara-saudaranya wafat. Pada titik ini dia jadi pemilik tunggal seluruh tanah di Cileungsi dan Klapanunggal.

“Kekayaannya memberinya lebih banyak prestise. Sejak kematian saudara-saudaranya yang terakhir pada tahun 1805, dia adalah pemilik tunggal, seperti yang kita lihat, tidak hanya Cileungsi dan Klapanunggal, tetapi juga daerah sekitar,” tulis F de Haan dalam De Laatste der Mardijkers (1917).

Seluruh lahan yang dimiliki kemudian disewakan. Biasanya penyewa adalah orang-orang Tionghoa. Uang hasil sewa itu kemudian dibelikan lahan baru di Nambo, Cipanas, Ciputri, Cibarusah, Naggewer, dan beberapa daerah pinggiran Batavia lain yang kini masuk administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi.

Menurut de Haan diperkirakan luas tanah milik Augustijn setara dengan luas Provinsi Utrecht, Belanda, yang mencapai 1.449 km2 atau 144 ribu hektar. Selain itu, uang tersebut juga digunakan untuk usaha lain, seperti tambang emas, dan banyak properti.

Salah satu properti yang jadi sorotan adalah rumah mewah di Citeureup. Dalam sorotan Bondan Kanumayoso di Ommelanden (2023), rumah itu memperkerjakan 320 orang yang 117 di antaranya diperbudak. Para budak itu dipekerjakan sebagai tukang kebun, tukang sapu, penari ronggeng, penari topeng dan pemain gamelan.

Di rumah itu pula dia sering mengadakan pesta mewah. Jean Gelman Taylor dalam The Social World of Batavia (1983) mencatat selama pesta, Mayor Jantje sering mengundang ratusan orang. Selama pesta dia menyediakan makanan Indonesia dan kolam berendam bagi para tamu.

Selain itu, dia juga menyediakan pertunjukan kesenian dari para budak dan aksi dari korps musik tentara. Mereka yang tampil diberi alat musik, salah satunya alat musik tiup. Konon, dari kebiasaan ini lahir kesenian Tanjidor.

Berkat besarnya kepemilikan tanah, Mayor Jantje dinobatkan sebagai orang terkaya di Jawa pada tahun 1800-an. Dia kemudian wafat pada 27 Januari 1833. Seluruh hartanya diwariskan kepada anak-anaknya. Namun, ada pula harta benda yang dilelang.