Dihukum Mati karena Cebok Pakai Duit Kertas, Orang Terkaya Jakarta

by -35 Views
Dihukum Mati karena Cebok Pakai Duit Kertas, Orang Terkaya Jakarta

Jakarta, CNBC Indonesia – Tingkah laku orang terkaya sering membuat kita terheran-heran. Mulai dari pamer kekayaan, hidup mewah, hingga hal-hal tak terduga seperti membersihkan diri dengan uang kertas.

Ini adalah kisah nyata yang dilakukan oleh Oey Tambah Sia, salah satu orang terkaya di Jakarta pada abad ke-19. Bagaimana ceritanya?

Oei Tambah Sia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan kekayaan yang melimpah. Ia mewarisi kekayaan dari orang tua. Ayahnya, Oei Thoa, adalah seorang pengusaha tembakau asal Pekalongan dan pemilik toko kelontong terbesar di Batavia pada tahun 1830-an.

Selama menjadi orang kaya, Thoa dikenal sebagai orang yang baik hati. Menurut Benny Setiono dalam bukunya “Tionghoa dalam Pusaran Politik” (2008), Thoa sering memberikan bantuan kepada orang-orang miskin. Setiap kali ibadah, ratusan orang miskin menerima sedekahnya.

Namun, setelah Thoa meninggal, hal yang diambil oleh anaknya, Oei Tambah Sia, hanyalah kekayaan. Sikap positif yang dimiliki oleh Thoa tidak diwarisi oleh Tambah. Malah sebaliknya, Tambah menunjukkan sikap yang berbeda. Dengan modal warisan orang tua, Tambah sering berjudi, menggunakan narkoba, dan bersikap arogan.

Alwi Shahab dalam buku “Oey Tambahsia, Playboy Betawi” (2007) mengungkapkan bahwa salah satu sikap arogan Tambah terlihat saat ia buang air besar di pinggir kali dan membersihkan dirinya dengan uang kertas. Uang kertas itu kemudian diambil oleh orang-orang miskin.

Selain itu, sikap arogan lainnya terlihat ketika Tambah menggunakan kekayaannya untuk memiliki banyak wanita. Ia dikenal sebagai pria tampan dan modis, sehingga mudah baginya mendapatkan perempuan.

Achmad Sunjayadi dalam buku “[Bukan] Tabu di Nusantara” (2018) menceritakan bahwa Tambah tidak puas hanya dengan satu perempuan. Ia sering berganti-ganti perempuan yang cantik. Bahkan, ia memiliki bungalow khusus di kawasan Ancol untuk bersantai dengan para perempuan.

Dengan sikapnya yang seperti itu, orang-orang hanya bisa diam. Sulit bagi mereka melawan seseorang yang memiliki uang dan kekuasaan. Akibatnya, kelakuan Oey semakin menjadi-jadi.

Dari segala kelakuan aneh yang dilakukan oleh pria kelahiran tahun 1827 ini, ada satu yang membuatnya jatuh. Kisah ini bermula ketika ia terlibat dengan seorang pesinden bernama Mas Ajeng Gunjing.

Pertemuan Tambah dengan Ajeng terjadi di Pekalongan saat menghadiri pesta pernikahan. Tanpa ragu, ia membawa Ajeng ke Jakarta untuk dijadikan kekasih. Ajeng kemudian tinggal di bungalow milik Tambah.

Suatu saat, Ajeng jatuh sakit dan dipindahkan ke rumah Tambah di Tangerang. Di sana, Ajeng bertemu dengan saudara kandungnya, Mas Sutejo. Keduanya akrab karena masih sedarah. Namun, Tambah merasa cemburu dan memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Sutejo. Akibatnya, Sutejo tewas.

Untuk menutupi perbuatannya, Tambah membunuh anak buahnya dan menyalahkan pesaingnya, Liem Soe King. Namun, polisi yang sudah bosan dengan tingkah lakunya berhasil mengungkap kebenaran. Mereka menemukan bukti bahwa Sutejo tewas oleh tangan Tambah, yang akhirnya dihukum mati.

Pada tahun 1851, Tambah dihukum gantung di depan Balai Kota (sekarang kawasan Kota Tua). Hukuman ini disaksikan oleh banyak warga Jakarta dan menjadi pelajaran bahwa tidak ada seorang pun yang di atas hukum.

(mfa/mfa)