Purnawirawan TNI Jenderal Besar (Purn.) H. M. Suharto

by -128 Views
Purnawirawan TNI Jenderal Besar (Purn.) H. M. Suharto

Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Beliau bangun sangat pagi di pagi hari. Setiap hari, beliau tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatan yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Beliau juga sangat mahir dengan angka-angka. Beliau juga sangat gemar membaca. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang-orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun beliau sendiri tidak pernah bersekolah di luar negeri. Beliau selalu tersenyum. Beliau jarang marah atau tidak pernah terlihat marah. Ketika marah, beliau akan menjadi diam. Dan beliau tidak ingin berbicara dengan orang yang marah. Itulah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Pertama pada tahun 1976 ketika saya menjadi Komandan Peleton KOPASSANDHA Kelompok 1 (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infantri Yunus Yosfiah. Yang kedua pada tahun 1978, ketika saya menjadi Komandan Kompi Para-Commando dengan kode Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah pasukan serbu yang langsung di bawah komando komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infantri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infantri Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Kolonel Infantri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai inti. Sementara itu, Letnan Kolonel Infantri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai inti. Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Beliau bangun sangat pagi di pagi hari. Beliau tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Pukul 01:00 siang, beliau akan berada di rumah untuk makan siang. Di sore hari, beliau akan bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, beliau akan menerima tamu. Beliau akan makan malam pada pukul 21:00. Kemudian pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, beliau masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumah beliau relatif lebih kecil. Kamar tidurnya juga bukan kamar mandi dalam. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan map di mejanya yang bisa mencapai 40-50 sentimeter tingginya. Saya mendengar dari ajudan-ajudannya bahwa setidaknya ada 40 map dan surat yang dibaca dan ditandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada malam Sabtu tidak akan kita temukan beliau di meja kerjanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01:00 atau bahkan pukul 02:00 pagi. Sementara itu, beliau akan bangun pukul 04:30 pagi atau paling lambat pukul 05:00. Terkadang beliau hanya mendapat 3-4 jam tidur. Hal ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan telitinya beliau. Kualitas khas lainnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatan fotografinya. Beliau juga sangat mahir dengan angka-angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat menjadi Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemui beliau. Beliau kemudian menceritakan kepada saya dengan sangat panjang lebar dan detail pengalaman beliau dalam pembentukan, rekrutmen, pelatihan, dan membangun sebuah batalyon tempur. Beliau menceritakan pengalaman-pengalaman beliau sebagai Pemimpin Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Beliau membagikan banyak teknik dan praktik-praktik yang praktis serta hal-hal yang sangat detail. Beliau bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan setiap mantan bawahannya. Saya terkejut mendengar ceritanya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak beliau meninggalkan Tentara dan 35 tahun setelah tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api, hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak memimpin batalionnya selama puluhan tahun, masih bisa mengingat dengan jelas pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit militer pada tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang beliau bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal itu membuat Batalyon 328 sangat handal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon yang paling tajam selama bertahun-tahun. Juga khas dari beliau adalah bahwa beliau sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto secara luas mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini wajar karena semua pendidikannya terjadi di Indonesia, di kampung halamannya Desa Kemusuk di Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para sarjana Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filsafat yang paling sering diajarkan oleh beliau adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; ditambah ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang beliau terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Buku beliau sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan sekadar slogan belaka. Bagi banyak orang, hal itu menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia di dunia ini. Itu juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, menjadi suara yang memikat kebijaksanaan yang dibawa sepanjang zaman. Oleh karena itu, siapa saja yang mengikuti ajaran tersebut menggunakan kebijaksanaan para leluhur kita, para nenek moyang kita, dan para tua-tua kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Pada malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu bawahan-bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum melaksanakan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, beliau bertemu dengan saya dan bertanya apakah benar bahwa saya akan melaksanakan operasi keesokan harinya. Saya menjawab dengan tegas. Lalu beliau berkata, ‘Saya hanya memiliki tiga pesan untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpanlah dalam hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut menepuk kepala saya sebagai tanda restu, seperti yang selalu beliau lakukan kepada anak-anak, cucu, dan orang-orang tercinta, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, ruang Perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya memberitahu mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, untuk sementara waktu, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena alih-alih menerima dana, saya hanya diberikan tiga pesan. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya memikirkan tiga pesan yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil mengambil alih kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir tahun 1948. Bahkan, saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Beliau juga terlibat dalam berbagai operasi penindasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Beliau juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Beliau juga merupakan figur kunci dalam melakukan penumpasan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai seorang Panglima dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat-nasihat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link