Ternyata, Miliarder China Parkir Uangnya di Sini, Apakah Ada Hubungannya dengan Indonesia?

by -41 Views
Ternyata, Miliarder China Parkir Uangnya di Sini, Apakah Ada Hubungannya dengan Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia – China masih menjadi salah satu negara dengan proyeksi pertumbuhan miliarder yang tinggi. Data laporan kekayaan Knight Frank baru-baru ini, orang-orang dengan kekayaan bersih sedikitnya US$ 30 juta (Rp 490 miliar) diperkirakan akan meningkat hampir 50% dalam beberapa tahun di Negeri Tirai Bambu.

Hal ini pun menimbulkan pertanyaan terkait di mana orang-orang super kaya China menyimpan kekayaannya. Mengutip CNBC International, ada beberapa tempat yang menjadi daya tarik bagi miliarder China memarkirkan aset dan kekayaannya.

Untuk dalam negeri, posisi Shanghai selaku pusat ekonomi masih diminati para orang kaya China. Mereka ramai membeli properti di kota Sungai Yangtze itu setelah Pemerintah China telah melonggarkan beberapa pembatasan pembelian properti.

Pada bulan Mei, pemerintah mengurangi jumlah tahun orang diharuskan membayar pajak di Shanghai sebelum mereka dapat membeli properti menjadi tiga tahun dari lima tahun. Rasio uang muka untuk pembeli pertama kali juga telah dipotong menjadi 20% dari 30%.

“Terjadi peningkatan transaksi yang nyata dalam sektor properti mewah di Shanghai. China telah melonggarkan beberapa pembatasan pembelian properti, yang telah menyebabkan peningkatan peluncuran properti mewah baru di lokasi pusat kota, untuk mengatasi permintaan yang terpendam,” ujar kepala penelitian China di perusahaan properti global Savills, James Macdonald, kepada CNBC International, Selasa (30/7/2024).

Dalam situasi saat ini, rumah mewah di Shanghai merupakan aset berharga untuk menjaga kekayaan dan likuiditas. Khususnya bagi individu dengan kekayaan bersih yang sangat tinggi.

“Hunian mewah, khususnya di Shanghai, telah menjadi investasi yang baik bagi individu dengan kekayaan bersih tinggi dan keluarga kaya setempat dalam beberapa tahun terakhir karena kelangkaannya,” kata Sam Xie, kepala penelitian CBRE di China.

Menurut data yang diberikan oleh Xie, volume transaksi untuk hunian baru dengan harga minimal US$ 2,75 juta (Rp 45 miliar) per unit tumbuh 38% tahun ke tahun pada kuartal pertama tahun 2024. Xie mencatat bahwa 40% dari pembeli ini adalah penduduk lokal Shanghai.

“Proyek-proyek mewah seperti Arbour di distrik perbelanjaan mewah Xin Tian Di di Shanghai, The Bund Garden di Greentown, dan Shanghai Arch di distrik keuangan Lujiazui, langsung terjual habis saat diluncurkan,” ungkap Kepala Riset Asia-Pasifik Knight Frank Christine Li.

“Meski demikian, pasar real estat mewah China masih terkonsentrasi terutama di area inti kota-kota lapis pertama. Kelas investasi lokal lainnya, seperti pasar properti yang lebih luas dan saham tidak populer di kalangan orang-orang super kaya,” tambahnya.

Luar Negeri

CEO Hywin International, Nick Xiao, mengatakan bahwa para investor China yang kaya mulai merangkul berbagai kelas aset yang semakin beragam dan berkembang. Ini termasuk mata uang asing, kredit swasta, ekuitas swasta, obligasi pemerintah AS, dan ekuitas negara berkembang.

“Bagi banyak klien China, ekuitas AS dan Jepang menawarkan partisipasi dalam sektor dengan pertumbuhan tinggi dan tren sekuler yang tidak akan berbalik dalam waktu dekat,” katanya.

“Obligasi pemerintah AS membantu mereka mengunci imbal hasil yang tinggi secara historis, dan ekuitas swasta global menyediakan lapisan diversifikasi di atas eksposur pasar publik,” tambahnya.

Kepala Investasi di Hefeng Family Office, Stephen Pau, menuturkan bahwa aliran uang ke aset internasional oleh orang kaya China tercermin dalam peningkatan alokasi melalui Investor Institusional Domestik Berkualitas (QDII) dan Kemitraan Terbatas Domestik Berkualitas (QDLP).

QDII adalah skema yang memungkinkan lembaga keuangan untuk berinvestasi dalam sekuritas di luar China. QDLP adalah program yang memungkinkan yuan lokal dikonversi ke mata uang asing untuk investasi luar negeri.

“Hal ini konsisten dengan tren umum sikap defensif investor. Orang-orang kaya China bersikap konservatif karena ketidakpastian dalam ekonomi domestik serta lingkungan geopolitik yang lebih luas,” kata Pau.

Pau mencatat orang-orang kaya China beralih ke pelestarian modal dan produk-produk dengan imbal hasil lebih tinggi dan risiko rendah seperti obligasi pemerintah AS, terutama setelah mengalami kerugian dalam bidang real estat dan ekuitas domestik.

“Hal ini kontras dengan pendekatan investasi yang lebih terdiversifikasi dari orang-orang kaya di belahan dunia lain, yang sering kali bersedia mengalokasikan dana ke reksa dana dan portofolio multi-aset,” ujarnya lagi.

“Beberapa klien China kesulitan memilih dari berbagai strategi dana lindung nilai di ruang internasional, karena kurangnya keterampilan. Banyak dari mereka belum mengelola risiko dengan gambaran umum yang lebih komprehensif, menggabungkan aspek makro, geopolitik, dan sektoral ke dalam keputusan investasi mereka,” tambahnya.