Diplomasi di Era Prabowo: Warisan dan Wawasan dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo

by -187 Views
Diplomasi di Era Prabowo: Warisan dan Wawasan dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo

Bagaimana Tampaknya Diplomasi Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Prabowo Subianto?

Sebagai putra Sumitro Djojohadikusumo, banyak yang mengantisipasi bahwa banyak strategi diplomasi Prof. Sumitro akan diwarisi dan dilaksanakan oleh putranya, Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Pendekatan ini melibatkan memanfaatkan kekuatan naratif dan hubungan kekerabatan untuk membangun kekuatan lunak Indonesia.

Dikenal sebagai seorang ekonom Indonesia yang prominent, tidak banyak yang tahu bahwa Prof. Sumitro juga merupakan seorang diplomat yang luar biasa.

Salah satu contoh signifikan dari upaya diplomasi Prof. Sumitro tertangkap dalam sebuah artikel New York Times.

Plea Sumitro pada usia 31 tahun kepada Pemerintah AS, yang diterbitkan dalam New York Times pada 21 Desember 1948, berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika ke Belanda, yang digunakan untuk operasi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Prof. Sumitro menulis:

“Pengejaran militer Belanda saat ini paling tidak menguntungkan membawa kesadaran yang mengerikan bahwa beberapa waktu yang lalu sudah ada di pikiran semua orang yang baik hati. Dalam sejarah modern bangsa, hanya penusukan Signor Mussolini di 1940 dan serangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor di 1941 bisa dibandingkan dengan tindakan Belanda yang tidak patut ini tanpa peringatan.”

“Tidak ada alternatif lain bagi Republik Indonesia kecuali untuk menjalani kehidupan sendiri dan melanjutkan sebaik-baiknya sebagai negara yang berdaulat dan independen yang terpisah.”

“Kami dengan tulus tetapi mendesak meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan pemberian dolar Amerika kepada Belanda dalam Program Pemulihan Eropa atau yang lainnya.”

Pada saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto, menjabat sebagai Kepala Delegasi Indonesia Sementara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setelah Perang Dunia II, Belanda pada dasarnya bangkrut dan tergantung pada bantuan rekonstruksi Amerika di bawah Rencana Marshall, yang disalahgunakan untuk mendanai operasi militer di Indonesia.

Sumitro, yang saat itu baru berusia 31 tahun, diberi tugas oleh Presiden Sukarno untuk menghentikan dana Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk ambisinya kolonial di Indonesia.

Sumitro melakukan lobi kepada pejabat AS di Washington dan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Berkat upaya Sumitro, Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett akhirnya menghentikan bantuan kepada Belanda, karena klaim Sumitro terbukti: dana tersebut digunakan untuk operasi militer di Indonesia.

Berhentinya bantuan mengakibatkan Belanda harus bernegosiasi dengan Indonesia di Konferensi Meja Bundar, akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Usia muda Sumitro dan kecerdasannya dalam narasi dan negosiasi, serta keterampilan jaringan internasionalnya, membuat Presiden Sukarno menugaskannya tugas yang sangat penting.

Keberhasilan diplomasi naratif dan kekerabatan Sumitro memainkan peran penting dalam mengamankan kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi.

Presiden Sukarno menunjuk Sumitro sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada usia 33 tahun.

Source link