Leadership of Indonesian National Leader Major General TNI (Ret.) Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik)

by -103 Views
Leadership of Indonesian National Leader Major General TNI (Ret.) Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik)

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box-office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan seperti itu memungkinkan kita untuk melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menjadikan kita sebagai bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin merupakan ujian terberat yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca hariannya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Angkatan Darat, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak mengerti politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Dia adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Dia adalah bagian dari Angkatan Darat Mahasiswa Indonesia (TRIP) dan adalah komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap pemuda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang mahasiswa, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI tingkat tinggi.

Dia sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya cenderung kiri; karena jiwa populisnya, yang dibentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena dia handal di sekolah dan fasih dalam berbahasa Belanda dan Inggris. Dia bertempur melawan Pasukan Sekutu di momen-momen kritis dan menentukan, dari bulan Oktober hingga November 1945.

Dia memimpin hanya beberapa lusin orang tetapi terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling ganas dan paling berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, mengambil alih senjata-senjata Jepang, senapan, pistol, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menggunakan meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan angkatan bersenjata mereka dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah mereka yang membantu melatih pemuda-pemuda kita untuk menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti-pesawat. Semuanya diceritakan di memoar Hario Kecik.

Pada tanggal 1 Oktober 1945, dia menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud untuk merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya bukan siapa-siapa, hanya seorang prajurit di tengah-tengah massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niatan untuk maju bersama-sama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda-pemuda dari desa. Pakaian kami memperlihatkan betapa miskinnya kami.

Setelah merebut senjata-senjata, Hario Kecik mendirikan Polisi Militer Angkatan Darat Rakyat (PTKR), pendahulu dari korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa-peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat bulan Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Memang, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, telah diproklamasikan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi itu di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Ujian itu menguji apakah rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kita memiliki 30.000 korban terutama karena superioritas Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Inggris menurunkan lebih dari satu divisi, yang berjumlah sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam. Anda bisa membayangkan kekuatan dan kekuatan tembakan terbesar mereka dibandingkan dengan orang Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa ini, kita bisa melihat bahwa semua orang di pihak Indonesia bersatu. Pemuda-pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua berkumpul. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa telah bergabung dengan batalyon-batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri mereka menjadi batalyon-batalyon resmi. Mereka adalah batalyon-batalyon bekas PETA. PETA adalah tentara sukarelawan yang diselenggarakan oleh Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ada juga front pemuda, pasukan dasar dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari siswa madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok saat itu.

Kembali ke Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apapun yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam suasana yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, api, kemarahan mentah di hati para pemuda yang berkumpul di tempat itu hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana itu. Itu dimulai ketika saya bersama para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman basis kami di Pasar Besar, saat kami mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa basis kami sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, bentengnya yang lemah, dan faktor-faktor lainnya. Tetapi para pemuda bertekad untuk mempertahankan basis sampai kelelahan.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya kalah oleh ’emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya punya beberapa jam untuk mempersiapkan diri.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dan lain sebagainya. Kami siap, dan tidak ada di antara kami yang ragu.

Kami menuangkan strategi yang rumit menjadi satu motto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang mengajukan pertanyaan tentang kekuatan musuh, dan tidak ada yang meragukan kekuatan kami. Barangkali secara tidak sadar, kita semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir itu. Kami harus berjuang melawan musuh besok.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Demikianlah semangat yang memungkinkan kita untuk mempertahankan kemerdekaan kita. Demikian pula semangat yang memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menyatukan kita menjadi bangsa. Mungkin itu adalah ujian paling sulit setelah kemerdekaan.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan teman-temannya? Itulah beberapa pertanyaan yang selalu saya tanyakan kepada diri saya sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali saya memberikan ceramah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia yang teladan.

Keheroikan yang diwujudkan oleh Hario Kecik sudah jelas. Dia memberikan contoh bagi generasi-generasi berikutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link