Setiap hari seorang nelayan asal Cirebon, tanpa disebutkan namanya, berlayar puluhan kilometer ke Laut Jawa dari pesisir pantai. Laut dalam merupakan tempat yang potensial untuk menangkap ikan yang bergerak di sana. Dengan melepas jaringnya, nelayan tersebut berhasil menangkap banyak ikan dan mendapatkan banyak keuntungan.
Namun, pada bulan Februari 2003, terjadi kejadian yang berbeda dari biasanya. Hari itu, nelayan tersebut menemukan “harta karun” China. Nelayan tersebut melepas jaringnya tepat 70 kilometer dari lepas pantai perairan Cirebon. Setelah menunggu, jaringnya ditarik dari kedalaman 50 meter. Ketika melihat jaringnya, nelayan itu terkejut karena selain ikan, dia menemukan sejumlah keramik yang tersangkut di jaringnya.
Setelah mendarat, nelayan tersebut mencari tahu lebih lanjut tentang asal-usul keramik tersebut. Hasilnya, temuan nelayan tersebut diduga kuat bukan keramik biasa melainkan kepingan dari harta karun yang melimpah. Setelah dilakukan proyek pencarian oleh perusahaan swasta dengan izin pemerintah, diketahui bahwa di titik temuan nelayan tersebut terdapat harta karun melimpah yang berasal dari kapal karam dengan jumlah yang fantastis.
Menurut peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional, Eka Asih, di kapal karam di Cirebon terdapat 314.171 keramik yang terdiri dari porselen, piring, mangkuk, dan lainnya. Selain itu, terdapat 12.000 mutiara bernilai tinggi, ribuan permata, dan emas di kapal tersebut. Seluruh temuan saat dilelang ditaksir mencapai Rp720 miliar.
Temuan nelayan ini menjadi penemuan harta karun arkeologi bawah laut terbesar pada awal abad ke-21. Seluruh temuan keramik berasal dari China, tepatnya dari era Dinasti Tang sekitar abad ke-9 sampai ke-10 Masehi. Kapal karam tersebut berasal dari wilayah Nusantara atau Indonesia sendiri, bukan spesifik berasal dari Arab atau China. Temuan ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki sejarah perdagangan laut yang kaya dan memiliki hubungan dagang dengan China pada masa lampau.