Warga Indonesia Pecinta Makan Nasi Garam dan Punya Banyak Koleksi Perhiasan

by -128 Views
Warga Indonesia Pecinta Makan Nasi Garam dan Punya Banyak Koleksi Perhiasan

Jakarta, CNBC Indonesia – Kekayaan yang ditunjukkan terkadang berbeda dengan gaya hidup sehari-hari. Ada orang yang memiliki banyak perhiasan, tetapi hidup sehari-harinya seperti orang yang tidak memiliki uang.

Kasus seperti ini bukanlah fiksi semata, tetapi benar-benar terjadi pada masyarakat Palembang sekitar 163 tahun yang lalu. Hal ini diungkapkan oleh penjelajah Eropa, Alfred Russel Wallace, ketika ia mengunjungi Bumi Sriwijaya pada tahun 1861 dan 1862.

Sesampainya di Palembang setelah melakukan perjalanan laut selama berjam-jam dari Batavia, Wallace melihat bahwa gaya hidup warga Palembang berbanding terbalik dengan kekayaan yang dimiliki. Pada saat itu, warga lebih memilih makan nasi kering yang dicampur garam dan cabai merah dua kali sehari sebagai makanan utama sepanjang tahun.

Awalnya, Wallace mengira bahwa kebiasaan ini adalah tanda kemiskinan yang akut. Karena kebiasaan tersebut sejalan dengan kondisi pangan yang sangat memprihatinkan ketika dia tiba di Sumatera. Namun, perlahan-lahan terungkap bahwa kebiasan tersebut bukanlah tanda kemiskinan, melainkan hanya adat istiadat. Banyak dari mereka malah memiliki perhiasan, yang bahkan dipakai oleh anak-anak dan perempuan.

Menurut Wallace, tidak mungkin mereka hidup miskin jika mereka memiliki banyak perhiasan. Kesimpulan Wallace tersebut kemudian sejalan dengan catatan penjelajah William Marsden dalam bukunya “History of Sumatra” (1966). Marsden menyoroti bahwa warga Sumatera secara umum mudah mendapatkan makanan bergizi seperti unggas, ikan, sayur-sayuran, dan daging sapi.

Dengan temuan Marsden, seharusnya mayoritas warga yang dilihat oleh Wallace mudah mendapatkan makanan bergizi. Namun, tidak ada catatan lebih lanjut mengenai adat istiadat tersebut, termasuk motif dan tujuannya.

Meskipun begitu, temuan Wallace mengindikasikan kemakmuran masyarakat di Palembang. Hal ini bisa terjadi karena Palembang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan internasional dari masa kerajaan kuno hingga penjajahan Belanda.

Fakta ini membuat banyak lapisan masyarakat mudah melakukan perdagangan, terutama dengan menyusuri Sungai Musi dari hulu ke hilir. Barang dagangan yang dijual meliputi komoditas ekspor, seperti lada dan timah. Kemudahan dalam perdagangan ini juga seiring dengan hadirnya jaringan jalan raya dan kemudian jaringan rel kereta api pada awal abad ke-20.

Pesatnya perdagangan di Palembang membuat sejarawan Anthony Reid dalam bukunya “Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia” (2011) memasukkan Palembang ke dalam tiga kota terbesar di Sumatera, selain Medan dan Bukittinggi.

Berawal dari kemudahan dalam berdagang, ekonomi masyarakat juga mengalami perubahan. Mereka menjadi mudah memperoleh perak dan emas, yang memang mudah ditambang di kawasan Sumatera.

(mfa/sef)