Banjir di Bekasi bukanlah hal baru dan sebenarnya sudah diprediksi sejak 1.500 tahun yang lalu, seperti yang terungkap dari catatan arkeologi dan sejarah. Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara, yang berlangsung ribuan tahun yang lalu, wilayah Bekasi sudah diketahui memiliki topografi dataran rendah yang rentan terkena genangan air dan banjir. Terutama dengan tanah berjenis rawa kering yang mudah banjir serta saat sungai-sungai besar di sekitar meluap seperti Cisadane, Ciliwung, dan Citarum ketika musim hujan tiba, hal ini mengganggu dinamika pemerintahan dan ekonomi di kerajaan tersebut.
Untuk mengatasi masalah banjir, Raja Purnawarman memulai megaproyek dengan membangun dua sungai baru, Candrabhraga dan Gomati, pada tahun 417 Masehi. Meskipun demikian, banjir tetap terjadi di Tarumanegara sehingga Purnawarman memutuskan untuk membangun sungai baru, yaitu Gomati. Kedua sungai tersebut bermuara di wilayah Utara Jawa yang sekarang masuk dalam wilayah administratif Jakarta Utara. Meskipun kerajaan Tarumanegara sudah tidak ada lagi, kedua sungai tersebut masih eksis dengan nama baru, Kali Bekasi dan Kali Cakung Lama.
Dalam riset tentang “Sejarah Banjir Bekasi 1924-2002,” diketahui bahwa setiap tahun di masa kolonial, Bekasi selalu mengalami banjir imbas dari meluapnya kedua sungai tersebut. Bahkan, hampir setiap tahun tercatat banjir besar yang membuat Bekasi mengalami kerusakan parah. Perubahan nama sungai dari Chandrabhaga menjadi Kali Bekasi dan Gomati menjadi Kali Cakung Lama juga turut berperan dalam kerentanan Bekasi terhadap banjir, yang terjadi kembali pada Maret 2025, meski sudah diprediksi sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan pentingnya memahami catatan sejarah dan arkeologi untuk melihat pola sejarah bencana alam di suatu wilayah.