Selama separuh abad hidup di Jepang, Mizue Kanno telah menghadapi berbagai gempa dan sudah terlatih untuk mengatasi situasi tersebut. Namun, pengalaman berbeda dialami saat gempa melanda Fukushima pada 11 Maret 2011. Guncangan gempa M9 yang berlangsung selama 6 menit menghancurkan rumah Kanno hingga rata dengan tanah, namun beruntungnya dia selamat dan dapat pergi ke tempat aman. Kanno merasakan perbedaan yang tidak biasa sehari setelah bencana terjadi, di mana dia menyaksikan orang-orang memakai masker dan baju pelindung lengkap, menandakan adanya bahaya radiasi. Gempa tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga mengakibatkan ledakan reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, menjadikannya krisis nuklir terbesar ketiga setelah Hiroshima dan Nagasaki.
Krisis nuklir Fukushima juga mengungkapkan sikap buruk dari beberapa pihak di Jepang. Para ahli nuklir sebelumnya telah memperingatkan adanya keretakan dalam sistem pendingin reaktor, namun pihak pengelola PLTN Fukushima tidak mengambil tindakan preventif. Mereka enggan menutupi retakan tersebut dan tidak memanggil ahli lain untuk membantu, karena alasan tertentu. Kelalaian fatal ini terjadi sejak masa pra-konstruksi PLTN dan menjadi salah satu faktor terjadinya bencana nuklir tersebut.
Pemerintah Jepang juga dinilai telah meremehkan resiko tsunami, yang pada akhirnya menyebabkan bencana besar di Fukushima. Konstruksi PLTN didasarkan pada catatan masa lalu yang tidak mempertimbangkan proyeksi masa depan, sehingga ketika gempa lebih besar terjadi, reaktor tidak mampu bertahan. Kesalahan pengelolaan dan pengambilan keputusan yang tidak tepat telah menyebabkan bencana nuklir yang tragis dan menyedihkan bagi warga Jepang, terutama di wilayah Fukushima.