Gunung api Gunung Tambora meletus pada 10 April 1815, 210 tahun yang lalu, menyebabkan kekacauan besar di seluruh Nusantara. Pimpinan militer a.Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles, dibuat bingung oleh suara dentuman keras yang terdengar seperti tembakan meriam tanpa diketahui asalnya. Menanggapi laporan tersebut, Raffles langsung menyiagakan pasukan dan kapal perang, tetapi ternyata tidak ada invasi asing yang terjadi. Suara tersebut ternyata berasal dari letusan Gunung Tambora, bukan Toba atau Krakatau, yang terjadi di Buitenzorg hanya 1.000 km dari lokasi Raffles.
Dampak letusan Gunung Tambora sangat tragis, terutama bagi warga sekitar gunung itu. Mereka harus menghadapi hujan abu dan batu yang terus-menerus tanpa henti, rumah-rumah hancur, sumber air dan makanan menghilang, dan harus berjuang melawan badai dan tsunami. Banyak orang tewas dan yang selamat mengalami berbagai masalah kesehatan termasuk diare akibat minum air tercemar hujan abu.
Di luar zona bencana, masyarakat hanya dapat melihat hilangnya sinar matahari dan mendengar suara dentuman tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Owen Philips, anak buah Raffles, akhirnya tiba di Tambora setelah enam minggu membawa bantuan, namun sayangnya terlambat. Semua makhluk hidup terbunuh dan mayat bergelimpangan di jalanan. Letusan Gunung Tambora memakan korban jiwa puluhan ribu hingga ratusan ribu, dan dampak cuaca global yang diakibatkannya dikenal sebagai “The Year Without Summer”.