Korea Utara dikenal sebagai negara dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi. Sejak merdeka, mayoritas warga Korea Utara terjerat kemiskinan. Mereka sulit memenuhi kebutuhan hidup dasar, seperti makanan hingga air bersih. Hal ini bisa terjadi karena buruknya tata kelola pemerintah, sanksi ekonomi, hingga sentralisasi ekonomi. Meski demikian, ternyata ada orang kaya atau miliarder di Korea Utara, meskipun jumlahnya sangat sedikit, yaitu sekitar 1% populasi atau 1-2 juta penduduk.
Menurut Anna Fifield dalam autobiografi Kim Jong Un berjudul The Great Successor (2019), para miliarder ini muncul imbas dari kebangkitan ekonomi Korea Utara pada tahun 2000-an. Korea Utara mulai mengubah sistem ekonomi dengan menjadi lebih terbuka bagi negara asing. Hal ini memungkinkan para penduduknya membuka usaha sendiri jika memiliki modal.
Dari perubahan ini, muncul kelompok donju atau penguasa uang yang berisikan para pemilik modal yang mampu mendirikan bisnis sendiri. Kelompok ini terdiri dari orang-orang dekat dengan rezim pemerintah yang berkuasa, seperti pegawai BUMN atau PNS. Pendirian bisnis oleh perseorangan harus mengikuti sistem bagi hasil, di mana minimal 70% keuntungan harus masuk ke kas negara.
Sadar akan kemunculan kelas baru dalam dinamika sosial masyarakat, pemerintah Korea Utara berupaya memanjakan kelompok donju dengan berbagai fasilitas mewah. Mereka diberikan wilayah khusus di Pyongyang yang disebut Pyonghattan, di mana mereka dapat menikmati berbagai hiburan, fasilitas olahraga, dan berbagai macam restoran mewah yang menyajikan berbagai menu dari berbagai wilayah dunia.
Meskipun terdapat kelompok kecil orang kaya atau miliarder di Korea Utara, kesenjangan sosial di negara tersebut semakin besar. Sementara ada kelompok yang hidup mewah dengan fasilitas dari pemerintah, 99% populasi lainnya masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar. Ironi yang terjadi menunjukkan bahwa Korea Utara memiliki tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan.