Presiden Joko Widodo gagal mendarat di Bandara Ibu Kota Nusantara senilai Rp4.2 Triliun pada Kamis (12/9). Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa Kementerian PUPR belum menyelesaikan tugasnya dengan baik. Menurut pengamat transportasi Bambang Haryo Soekartono, Kementerian Perhubungan seharusnya tidak terburu-buru dalam menyatakan kesiapan bandara tersebut untuk dioperasikan, terutama jika melibatkan pesawat kepala negara.
Dalam hal uji coba landasan, Pesawat Cessna Citation Longitude digunakan sebagai acuan, meskipun ukurannya jauh lebih kecil daripada Boeing 737-800 yang biasa dipakai Presiden. Anggota DPR-RI terpilih, BHS, menjelaskan bahwa keputusan kelayakan landasan berdasarkan pada Air Craft Classification Number (ACN), yang menggambarkan efek relatif pesawat terhadap perkerasan landasan bandara. Untuk itu, data spesifikasi pesawat seperti ACN diperlukan dalam menentukan kekuatan pavement landasan.
Lebar landasan pacu Bandara IKN hanya 30 meter, sementara Boeing 737-800 membutuhkan lebar setidaknya 45.72 meter sesuai standar internasional. Ini menunjukkan bahwa landasan pacu Bandara IKN masih jauh dari standar keselamatan internasional yang diperlukan untuk mendaratkan pesawat-pesawat besar seperti Boeing 777 atau Airbus A380.
Dengan biaya pembangunan yang mencapai Rp4.2 triliun, BHS mempertanyakan mengapa spesifikasi Bandara IKN jauh lebih rendah dari Bandara Kertajati yang memiliki panjang landasan 3000 meter, lebar 60 meter, dan PCN 89. Perlu perbaikan yang waktu yang panjang dan memenuhi standarisasi aturan internasional untuk memastikan keselamatan penerbangan di Bandara IKN. Proses pengawasan dari Kementerian Perhubungan sangat penting dalam menjamin keamanan operasional bandara ini.