Keberadaan preman di Indonesia telah lama menjadi perhatian masyarakat karena aksi mereka yang mengganggu keamanan dan perekonomian. Fenomena premanisme ini terbukti menyebabkan ketidaknyamanan bagi pelaku usaha yang khawatir akan tindakan premanisme yang dilakukan oleh ormas. Sebagai contoh, pada tahun 1901, Karesidenan Madiun mengalami aksi premanisme yang melibatkan perampokan, pemalakan, dan kekerasan terhadap warga sipil. Salah satu insiden terbesar terjadi di Purwodadi dimana rumah orang kaya menjadi sasaran preman.
Para jagoan dari Madiun turun ke jalan dan merampok rumah serta stasiun kereta api Paron di Ngawi untuk menggasak kas negara yang tersimpan di sana. Keberanian para preman membuat warga merasa ketakutan, dan polisi pun kesulitan untuk menenangkan situasi. Bahkan, pemerintah daerah terpaksa meminjamkan senjata kepada warga sipil, terutama warga Eropa, untuk mempertahankan diri dari aksi preman.
Di balik aksi preman di Madiun, terdapat konflik politik antara Residen J.J Donner dan Bupati Madiun, Brotodiningrat. Donner mencurigai Brotodiningrat sebagai dalang aksi premanisme karena merasa terganggu dengan banyaknya kasus pencurian yang menyasar rumah orang Eropa. Hasil investigasi mengungkap bahwa Brotodiningrat mengepalai kelompok kraman atau dunia hitam yang terdiri dari bandit dan jagoan, yang dikenal sebagai preman.
Meskipun Brotodiningrat membantah tuduhan Donner, investigasi yang dilakukan oleh sang Residen membuktikan sebaliknya. Akibatnya, kekuasaan Bupati Madiun tersebut berakhir lebih cepat. Tanpa adanya kontrol dari Brotodiningrat, kelompok preman di dunia hitam menjadi bergejolak dan menyebabkan kekacauan di Madiun selama berbulan-bulan. Situasi baru kembali normal setelah pengunduran diri sang Residen Donner.