Miliarder China Membangun Kota di Indonesia sambil Ikut Membangun Masjid

by -41 Views
Miliarder China Membangun Kota di Indonesia sambil Ikut Membangun Masjid

Jakarta, CNBC Indonesia – Gajah mati meninggalkan gading. Sementara manusia mati meninggalkan nama. Demikianlah yang terjadi pada crazy rich China bernama Tjong A Fie.

Semasa hidup, Tjong A Fie memiliki kerajaan bisnis besar. Alih-alih digunakan untuk memperkaya diri sendiri, dia malah mengalihkan semua keuntungan untuk membangun salah satu kota di Indonesia sekaligus juga ikut serta membangun masjid.

Tjong A Fie adalah warga China asli yang mencari peruntungan di Indonesia pada tahun 1878. Dia datang ke Medan agar bisa menjadi kaya. Awalnya, dia bekerja sebagai penjaga toko kelontong.

Di perantauan, Tjong A Fie tidak seperti orang China lainnya. Dia jujur, tidak berjudi, tidak mabuk, tidak main wanita, dan pandai bergaul. Dia berteman dengan orang Belanda, India, pribumi dari jelata hingga elite.

Singkat cerita, pergaulan luas yang dibangun membawa berkah. Berkat pertemanannya dengan Sultan Deli, dia diberi konsesi perkebunan tembakau yang menjadi primadona ekspor. Dari situlah, Tjong A Fie mulai memupuk kekayaan.

Seluruh keuntungan digunakan untuk modal bisnis baru, yaitu perkebunan karet. Kala itu, karet banyak diremehkan orang. Namun, intuisi Tjong A Fie berkata lain. Dia yakin perkebunan karet bakal sukses.

Benar saja, tak lama kemudian, pada tahun 1891 harga tembakau turun dan harga karet meroket. Pada titik ini dia pun mendapatkan banyak keuntungan. Lagi-lagi seluruh keuntungan dipakai untuk diversifikasi bisnis.

Benny G. Setiono dalam bukunya “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” (2003) mencatat bahwa dia membeli kebun, mendirikan pabrik gula, perusahaan kereta, bank, hingga menjadi investor di banyak perusahaan.

Semua itu membuat Tjong A Fie semakin kaya dan dijuluki sebagai crazy rich. Menariknya, kepemilikan harta melimpah tidak membuatnya terlena. Dia aktif dalam kegiatan sosial dan membangun Kota Medan.

Menurut Benny G. Setiono, langkah ini diambil Tjong A Fie karena merasa harta kekayaannya berasal dari “uang panas”, sehingga harus dikembalikan membantu masyarakat. “Uang panas” maksudnya berasal dari keuntungan monopoli penjualan candu, dan kegiatan yang dianggap di luar norma.

“Maka, dia banyak melakukan kegiatan sosial dengan membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum,” ungkap Benny.

Sebagai kota berpenduduk mayoritas Muslim, Tjong A Fie, yang non-Muslim dan bukan warga lokal, turut membangun masjid. Dia mengalihkan keuntungan demi membiayai seluruh pembangunan masjid di banyak kawasan Medan. Selain itu, dia juga menyumbang sebagian besar dari seluruh biaya pembangunan Masjid Raya Medan. Semua ini dilakukan karena rasa hormatnya kepada Sultan Deli dan kaum Muslim.

Tak hanya masjid, Tjong A Fie juga turut membangun klenteng, pura, gereja, sekolah, rumah sakit, jembatan, jalan, dan infrastruktur lain. Tak heran pria kelahiran 1860 ini disebut menjadi salah satu motor penggerak pembangunan kota Medan pada masa kolonial.

Dia sangat dihormati karena sikap dermawan tanpa membeda-bedakan ras dan agama. Saat kabar wafatnya pada 8 Februari 1921 karena sakit, tangis warga Medan pun pecah. Ribuan orang melayat datang ke rumahnya. Bahkan, warga Aceh, Padang, Penang, Malaya, hingga Jawa turut serta melayat.

Usai wafat, seluruh peninggalannya masih berdiri tegak hingga sekarang. Di Medan, ada beberapa jalan yang menggunakan namanya sebagai bentuk penghargaan.

(mfa/sef)