Pedagang asongan seringkali dianggap rendah. Banyak yang berpikir bahwa mereka sulit menjadi kaya karena hanya menjual ‘barang recehan’. Namun, pandangan ini telah dibantah oleh King Camp Gillette.
Ia adalah salah satu contoh sukses pedagang asongan yang konsisten menjual ‘barang recehan’ hingga akhirnya mendirikan perusahaan sendiri yang saat ini bernilai Rp 104 Triliun.
Ceritanya bermula pada tahun 1895. King Camp Gillette adalah seorang pedagang asongan yang tinggal di Massachusetts, Amerika Serikat. Sehari-harinya, ia berjualan keliling kota tanpa memedulikan cuaca. Yang penting bagi Gillette adalah agar dagangannya terjual dengan baik agar ia bisa tetap bertahan hidup.
Ketika berkeliling kota, Gillette mendengar keluhan yang dialami banyak pria. Mereka kesulitan dalam tampil ganteng, rapi, dan rapi. Mereka merasa repot setiap kali ingin mencukur bulu-bulu yang tumbuh di wajah mereka.
Setiap kali ingin mencukur misalnya, seseorang harus mengasah pisau terlebih dahulu. Proses ini memakan waktu yang lama. Belum lagi risiko kecelakaan yang mengintai. Pisau bisa saja menusuk wajah saat sedang mencukur. Dengan kerumitan ini, mereka jadi malas untuk mencukurnya.
Berdasarkan pemikiran ini, Gillette punya ide yang menarik. Ia berpikir, “Bagaimana kalau saya membuat pisau berukuran kecil yang memiliki dua sisi tipis. Dua sisi ini bisa digunakan berkali-kali. Ketika sudah tumpul, bisa dibuang.”
Sebagaimana yang dipaparkan dalam “Cutting Edge: Gillette’s Journey to Global Leadership” (1998), Gillette segera membuat pisau tipis yang ia maksud. Ternyata, pisau cukur buatan Gillette laku keras saat ia berjualan. Banyak pria merasa terbantu dengan temuannya ini. Mereka membuang pisau cukur konvensional dan beralih ke pisau buatan Gillette dalam jumlah besar.
Gillette yang kewalahan menerima pesanan, pergi ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) untuk meminta solusi. Ia berharap MIT bisa membuat mesin pencetak pisau cukur. Untungnya, seorang peneliti bernama Nickerson dapat memenuhi permintaan Gillette. Sejak saat itu, produksi pisau cukur dilakukan massal dan seiring berjalannya waktu, disambungkan dengan gagang plastik untuk memudahkan pengguna.
Secara perlahan, Gillette yang awalnya berjualan keliling kota berhasil mendirikan toko sendiri pada tahun 1901. Di toko tersebut, ia mulai menjual produknya dengan merek dagang Razor. Awalnya, Razor hanya terjual belasan unit. Namun, setelah setahun berdiri, toko Gillette sukses menjual ribuan alat cukur.
Sebagai seorang pengusaha cerdas, Gillette menyadari pentingnya hak cipta. Ia segera mematenkan temuannya pada tahun 1904. Akibatnya, setiap perusahaan yang ingin memproduksi pisau cukur harus membayar lisensi kepada Gillette.
Sejak itu, Gillette menjadi sangat kaya karena memiliki dua sumber pendapatan.
Meski tidak diketahui dengan pasti berapa kekayaan Gillette, namun melihat seberapa larisnya produksi pisau cukur, kita bisa memperkirakan kekayaannya. Di tahun kedua penjualan saja, pisau cukur ini berhasil terjual hingga 100 ribu unit. Bahkan, pada tahun 1915, telah terjual sebanyak 70 juta unit di seluruh dunia.
Tentunya, hidup sebagai pedagang asongan tersebut menjadi lebih sejahtera. Gillette memiliki banyak rumah dan properti di California. Ia juga memiliki saham di banyak perusahaan.
Di Indonesia, pisau cukur Gillette pertama kali masuk pada tahun 1913 berdasarkan berita dalam De Sumatra Post edisi 8 Agustus 1913. Di koran itu, iklan produk Gillette hampir menempati setengah halaman dan bisa dibeli di toko M. Goldenberg & Co. Nama “Gillette” dalam bahasa Indonesia akhirnya dikenal sebagai “silet”.
Sayangnya, hidup King Camp Gillette berakhir pada 9 Juli 1932. Meski begitu, bisnis pisau cukurnya tetap berlanjut.
Hingga saat ini, Gillette tetap eksis di dunia. Pada tahun 2005, Gillette menjadi bagian dari Procter & Gamble (P&G).
Perusahaan ini mengklaim bahwa setiap tahunnya ada 750 juta orang yang menggunakan pisau cukur pertama di dunia ini. Berkat pencapaian ini, tidak mengherankan bahwa penjualan produk Gillette mencapai US$6,6 miliar atau Rp 104 Triliun pada tahun 2022.