Kedatangan pengungsi Rohingya dari Myanmar di Aceh menuai polemik. Masyarakat lokal menolak dengan beragam alasan dan tak ingin mereka bermukim sementara atau tetap di daerahnya. Alhasil, nasib pengungsi menjadi terkatung-katung.
Menurut Menkopolhukam Mahfud MD jumlah pengungsi Rohingya baru-baru ini mencapai 1.748 orang yang tersebar di Pidie, Sabang, serta Lhokseumawe. Dari sini lantas terpantik pertanyaan: siapa itu Rohingya dan mengapa mereka datang ke Indonesia?
Islam di Myanmar
Pembahasan mengenai Rohingya terkait erat dengan sejarah Islam di Myanmar (Dulu Burma). Perlu diketahui, Islam pertama kali dibawa masuk oleh para pedagang Arab pada 1055. Mereka pertama kali menginjakkan kaki di delta Sungai Irrawaddy, pesisir Tanintharyi dan Arakan (kini negara bagian Rakhine).
Seperti di daerah lain, kedatangan pedagang Arab tak cuma sebatas hanya berdagang. Mereka juga melakukan penyebaran agama ke penduduk lokal, sehingga terjadi proses Islamisasi. Perlahan, proses Islamisasi itu semakin masif hingga membentuk komunitas-komunitas Muslim di Myanmar, khususnya di daerah Arakan.
Sampai akhirnya, singkat cerita, titik balik perkembangan Islam di Arakan terjadi ketika Narameikhla (nama lain: Naramakhbala) menjadi penguasa daerah pada 1430 dengan mendirikan Kerajaan Mrauk U. Sebelumnya, Narameikhla sempat mengasingkan diri ke Benggala untuk meminta tolong ke Sultan Bengal. Di sana dia menganut agama Islam dan mengubah nama menjadi Suleyman Shah.
Di bawah kekuasaan Suleyman, daerah Arakan menjadi tempat subur perkembangan Islam. Masjid dapat berdiri dan dakwah Islam bisa bebas disebarkan. Ekonomi pun bisa menjadi maju.
Dalam catatan Bakhouya Driss dalam “Rohingya Minority in Myanmar Between the Religious Persecution and The Reality of Constitutional” (2016), periode kekuasaan Mrauk U selama 350 tahun (1430-1784) menjadi masa-masa keemasan umat Islam di Burma.
Mereka mendominasi bisnis dan mempunyai banyak lahan pertanian dan bangunan. Bahkan, mereka memiliki 60%-70% properti di wilayah yang kini sempat menjadi ibukota Myanmar modern, Yangon.
Sayangnya, pada tahun 1784 terjadi perubahan kondisi. Invasi Kekaisaran Burma (Dinasti Konbaung) ke wilayah Arakan membuat Kerajaan Mark U runtuh. Kekaisaran Burma yang mayoritas beragama Budha praktis membuat perkembangan Islam di daerah tersebut mengalami kemunduran. Hal-hal berbau Islam perlahan mulai dihilangkan.
Dalam laporan Al Jazeera, situasi perlahan mulai berubah ketika Inggris berkuasa di Myanmar dalam kurun 1824-1948. Sepanjang masa penjajahan, terjadi migrasi buruh dari India dan Bangladesh. Mereka yang beragama Islam juga ikut serta dalam proses migrasi.
Dalam perkembangannya, migrasi ini kemudian dipandang negatif oleh mayoritas penduduk Myanmar. Terlebih, politik kolonial Inggris yang membuat segregasi antara Muslim dan non-Muslim semakin memperkeruh suasana.
Kemunculan Nasionalisme
Gaung nasionalisme yang melanda dunia abad ke-20 muncul juga di Burma. Pada 1920-an, hadir Partai Thakin yang mengusung ideologi nasionalisme. Namun, nasionalisme ini mengutamakan kelompok atau bangsa Burma semata, bahkan secara spesifik anti-India dan anti-Muslim.
Menurut Anthony Ware & Costas Loutides dalam Myanmar’s ‘Rohingya’ Conflict (2018), sikap antipati yang tumbuh terhadap kedua kelompok itu disebabkan karena Inggris sangat bergantung ke keduanya. Sebab, kedua kelompok itu banyak yang bekerja sebagai pegawai negeri dan sektor pertanian.
“Dengan menumbuhkan sikap demikian terjadi pemecahan terhadap dua kelompok selamanya. Jika itu terjadi, maka Thakin akan lebih mudah memerintah,” tulis Ware & Loutides.
Partai Thakin di masa depan memainkan peran penting dalam pergerakan kemerdekaan dan tata negara Burma, salah satunya, berhasil membentuk Tentara kemerdekaan Burma yang jadi cikal bakal militer modern Myanmar, Tatpidyaw.
Kelak, nasionalisme semacam inilah, yang menurut Ware & Loutides, mengobarkan kebencian mendalam di kalangan penduduk Burma. Alhasil, membuat komunitas Muslim, yang mayoritas berada di Arakan dianggap ancaman nasional.
Akibat dianggap ancaman itulah, terjadi represi dari militer dan Partai Thakin ke Muslim dan juga India. Dalam data yang dihimpun Ware & Loutides, ada ribuan desa Muslim yang hancur dan 100 ribu Muslim yang dibunuh pada 1930-an. Bersamaan dengan itu pula ada pemindahan paksa penduduk Muslim dari Selatan ke Utara Sungai Kaladen.
Istilah ‘Rohingya’ dan Mula Pengusiran
Singkat cerita, pada 1948 Burma merdeka dari tangan Inggris. Kemerdekaan ini sama sekali tidak melibatkan komunitas Muslim di Arakan. Bahkan, mereka juga tidak dianggap bagian dari Myanmar. Padahal, pemerintah Inggris sempat berjanji akan memberi otonomi khusus kepada mereka.
Ini bisa terjadi bukan karena sikap ultranasionalis saja, tetapi juga manuver-manuver yang dilakukan komunitas Muslim. Sebab, dalam masa-masa menuju kemerdekaan, Muslim Arakan sempat ingin merdeka dari Burma dan ingin dengan Pakistan Timur (Kini Bangladesh).
Akibatnya, pemerintah baru yang menjadikan Budha sebagai agama negara menganggap apapun yang berkaitan dengan Muslim-Arakan itu salah. Bahkan, tulis laporan Human Right Watch (2000), pemerintah memandang migrasi yang terjadi pada masa pemerintahan Inggris sebagai ilegal, dan atas dasar inilah mereka menolak kewarganegaraan mereka.
Ketika muncul sikap represi ini, tulis Haradhan Kumar Mohajan dalam “History of Rakhine State and the Origin of the Rohingya Muslims” (2018), komunitas Muslim di Arakan (kelak berubah nama menjadi Rakhine) menggunakan istilah ‘Rohingya’ sebagai identitas baru.
Ayu Chan dalam riset “The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma” (2005) mencatat istilah ‘Rohingya’ pertama kali muncul tahun 1950. Sebelumnya, kaum Muslim Arakan tidak menggunakan istilah itu dan pemerintah hanya menyebutnya sebagai ‘Kaum Bengal’.
Penyebutan Bengal didasarkan fakta bahwa orang Rohingya secara fisik, budaya dan bahasa memiliki kemiripan budaya orang-orang Bengali dari Asia Selatan. Perbedaan fisik inilah yang kemudian menjadi dasar pemerintah melakukan represi ke Rohingya sejak tahun 1950-an.
Mereka ingin mengusir kaum Rohingya hanya karena mereka Muslim dan berbeda fisik. Isu rasis semacam ini lantas dikuatkan oleh aturan Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. Di aturan itu, Rohingya bukan warga negara Myanmar dan dianggap hanya pendatang.
Alhasil, penduduk Rohingya yang sudah ada di Rakhine sejak tahun 1055 dan sempat berjaya di Myanmar, terusir dari tempat tinggalnya. Pemerintah tak ada lagi keharusan mengurus mereka karena dianggap bukan warga negara Myanmar. Akibat tak ada kewajiban tersebut, pemerintah bertindak semena-mena: melakukan pembunuhan dan pengusiran.
Menurut Haradhan Kumar Mohajan faktor lain yang membuat tindakan biadab ini terjadi karena otoritas Myanmar melihat orang Rohingya memiliki hubungan dengan dengan Al-Qaeda dan Taliban. Lalu, mereka juga perlahan secara demografis mulai meningkat pesat yang membuat umat Budha merasa ketakutan.
Beranjak dari penerapan aturan tersebut, penduduk Rohingya mulai bermigrasi ke negara-negara tetangga, seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Namun, satu per satu negara tetangga mulai menutup pintu bagi mereka.
Bersamaan dengan itu pula sikap represi semakin parah. Penduduk Rohingya terus-terusan dibantai dan diusir. Hak dasar manusia tak lagi diperoleh mereka.
Parahnya lagi, perlakuan pemerintah ke Rohingya dilakukan untuk pencitraan politik. Junta militer dengan heroik melakukan pembantaian ke Rohingya supaya sorotan publik terhadap segudang masalah di Myanmar dapat teralihkan.
Sampai sekarang, semua tindakan itu masih terjadi. Sejauh ini menurut data UN Refugees (Agustus 2023) sudah lebih 1 juta penduduk Rohingya yang terusir dari tanah kelahirannya. PBB pun mencatat Rohingnya sebagai kelompok paling teraniaya di dunia.