Kisah Saiman, Pengusaha Restoran Betawi di Belanda
Jakarta, CNBC Indonesia – Ini adalah kisah Saiman, pria Betawi yang sukses menjadi pengusaha restoran di Belanda. Awalnya, dia hanya seorang pembantu yang dibawa majikannya bekerja di Belanda.
Namun, takdir pada akhirnya membawa Saiman berubah menjadi pebisnis restoran di Belanda. Bagaimana kisahnya?
Kisah bermula pada tahun 1919. Saiman, yang asli Betawi, diajak oleh majikan untuk bekerja di Belanda.
Bagi Saiman, langkah ini adalah satu-satunya cara bertemu kembali dengan istrinya, Soedjirah, yang sudah lebih dulu di Belanda sejak 1914 atau lima tahun sebelumnya. Sang istri di Belanda juga diajak oleh majikan.
Bertahun-tahun ikut majikan di Belanda membuat keduanya betah. Saat sang majikan hendak kembali ke Jawa, mereka menolak ikut serta.
Pasangan suami istri ini lebih memilih tinggal di Belanda meskipun harus meninggalkan segenap keluarga di Indonesia.
Alhasil, keduanya memulai langkah baru di sana dengan bekerja di Restoran Twed. Fadly Rahman dalam Rasa Tanah Air (2023) menceritakan, keduanya bekerja sebagai juru masak dan pelayan.
Selama periode bekerja, mereka menyerap banyak ilmu dan keterampilan. Bermodalkan hal ini dan uang tabungan yang dimiliki, mereka lantas memulai langkah berani: menjalankan bisnis restoran sendiri.
“Pada 1 November 1922, mereka akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah hotel dan restoran makanan Jawa,” tulis Fadly Rahman.
Restoran tersebut dinamai “Roemah Senengati” yang berdiri di Den Haag pada 1 November 1922. Dalam catatan Fadly Rahman, restoran tersebut dipimpin oleh Saiman.
Sedangkan untuk juru masak dikendalikan penuh oleh Soedjirah. Pelayannya adalah pelajar Melayu bernama Sarpin.
Sejak awal berdiri, restoran itu konsisten menjual makanan khas Indonesia, antara lain nasi, sayur, gado-gado, pecel, sayur lodeh, sate, sambal goreng, ketupat, lontong, dan aneka jenis kue. Semuanya dijual dengan harga mulai dari 1,50 gulden.
Menurut Fadly Rahman, restoran tersebut dalam perjalanannya memiliki banyak pelanggan. Mereka berasal dari lintas profesi, usia, agama, dan negara.
“Roemah Senengati yang menyajikan hidangan tradisional Hindia dengan harga yang terbilang terjangkau menjadikan restoran ini tempat populer untuk berkumpul di kalangan pekerja, pelajar, dan juga muslim dari Hindia. Berbagai acara seperti selamatan dan perayaan Idul Fitri juga kerap dilakukan di sana,” tulis sejarawan tersebut.
Selain karena murah, keberhasilan ini juga diperoleh karena Saiman menjalankan restoran dengan kualitas Eropa. Maksudnya, meski didirikan dan dikelola semuanya oleh orang dari negeri jajahan, Roemah Senengati berjalan dengan standar manajemen ala Eropa, mulai dari administrasi, pengelolaan keuangan, hingga jenjang karir pegawai.
Selain itu, lokasi restoran tersebut juga membawa keuntungan tersendiri. Pasalnya, Den Haag adalah kota yang dihuni oleh orang-orang yang pernah bekerja atau berkunjung di Indonesia.
Jadi, untuk mengatasi kerinduan dan adaptasi perubahan gaya hidup, mereka masih bisa mencicipi makanan khas Indonesia. Salah satunya dengan berkunjung ke Roemah Senengati, yang sering juga disebut Waroong Djawa.
Berkat faktor-faktor tersebut, Roemah Senengati sukses menjadi restoran terkenal di Den Haag. Kepopuleran ini akhirnya juga berhasil mengangkat nama Saiman, sebagai pengusaha restoran ternama yang dulunya berprofesi sebagai pembantu.