Sebelum pemilu dilaksanakan, banyak lembaga survei yang mempublikasikan hasil surveinya kepada masyarakat. Biasanya, hasil survei ini digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui tingkat keterpilihan tiap kandidat dalam pemilihan umum. Meskipun hasil survei dapat mencapai tingkat akurasi yang tinggi, seringkali hasil survei ini juga menimbulkan kontroversi terutama jika dirilis oleh lembaga survei yang dianggap tak kredibel.
Namun, terdapat cerita menarik tentang lembaga survei politik di Indonesia yang memiliki perbedaan antara masa lalu dan sekarang. Pemilihan umum tahun 2004 menjadi titik balik yang mengubah pandangan elit tentang survei politik di Indonesia. Masa kampanye presiden pada tahun 2004 memunculkan banyak lembaga survei yang mengubah lanskap politik di Indonesia. Salah satu lembaga survei yang melakukan survei politik adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang berdiri pada Agustus 2003.
Sebelum pemilu tahun 2004, lembaga survei sebagian besar didorong oleh keingintahuan akademis dan kepentingan yang kuat untuk mencegah manipulasi pada pemilu pertama pasca rezim otoriter. Namun, saat pemilu 2004, lembaga survei tidak hanya mempublikasikan hasil surveinya saja, tetapi juga memberi nasehat kepada calon eksekutif dan legislatif tentang cara memenangkan pemilu.
Ini menyebabkan pembagian lembaga survei menjadi dua kubu, yaitu kubu akademis yang meyakini bahwa survei harus memenuhi kebutuhan masyarakat soal informasi dan transparansi, sementara kubu komersil atau bisnis memiliki misi membantu politisi memenangkan pemilu. Hal ini juga menimbulkan persoalan komersialisasi dan potensi keberpihakan, serta membuat biaya kampanye menjadi bengkak.
Meskipun begitu, keberadaan lembaga survei memiliki arti penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Kini, ada 40 lembaga survei yang terdaftar di KPU untuk pemilu 2024.