Di Jepang, terjadi anomali menarik. Semua orang mengetahui, negara tersebut menjadi tempat bermukim berbagai pabrikan motor. Sebut saja Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki dan sebagainya. Meski begitu, di Jepang justru jarang ada kendaraan roda dua itu.
Secara statistik, Statista (2021) menyebut hanya ada 10 juta unit motor di Jepang. Angka ini termasuk kecil karena jumlah penduduk Jepang mencapai 125 juta. Menariknya, ketidakmauan warga beli motor bukan disebabkan faktor ekonomi dan keunggulan transportasi umum, melainkan oleh pengalaman traumatis.
Angka ini jauh di bawah data populasi sepeda motor di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah atau populasi sepeda motor di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 125.305.332 unit. Meningkat dari tahun 2021 yang mencapai 120.042.298 unit. Padahal, sejarah industri sepeda motor di Indonesia dimulai jauh setelah berkembang di Jepang.
Bagaimana bisa?
Pada awalnya, warga Jepang suka membeli motor. Sejak industri motor dirintis Narazo Shimazu pada 1900-an, warga berbondong-bondong beli motor yang lebih terjangkau. Puncaknya terjadi pada tahun 1950-an. Pada periode tersebut industri motor Jepang sangat berjaya. Berkat kejayaan itu pula, motor buatan Jepang sampai di seluruh negara Asia.
Namun pada 1980-an terjadi perubahan besar yang disebabkan oleh munculnya sentimen warga terhadap pemotor ugal.
“Tahun 1980-an adalah masa kejayaan sepeda motor di Jepang. Namun sekitar 20 tahun yang lalu, penolakan kuat terhadap budaya mengendarai motor tiba-tiba muncul,” kata Presiden Triumph Motorcycles Japan Kazuo Noda, kepada British Chamber of Commerce in Japan, dikutip Kamis (30/5/2024).
Penolakan kuat tersebut tak terlepas dari hadirnya kelompok Bosozoku. Secara harfiah, Bosozoku adalah geng motor asal Jepang yang beranggotakan pemuda usia 16-20 tahun. Mereka muncul imbas menjamurnya kendaraan roda dua. Ciri khas mereka adalah kerap mengendarai motor secara massal dan memodifikasinya dengan berbagai model.
Dalam pewartaan media lokal, Jalopnik, diketahui sejak muncul tahun 1970-an, Bosozoku kerap bikin ulah. Mereka sering membunyikan klakson, mengayunkan senjata, meneriaki pejalan kaki dan pengendara lain, merusak properti, dan mengganggu masyarakat lain.
Bahkan, mereka juga kerap melakukan kriminal di luar aktivitas mengendarai motor. Salah satu eks-Bosozoku, Shotaro Nagasawa, bersaksi kepada Japan Times, dirinya kerap melakukan perkelahian, entah itu saat berkendara atau tidak.
“Perkelahian, pertumpahan darah, dan kejadian nyaris mati tampaknya selalu menghantui remaja tersebut (Shotaro) ke mana pun dia pergi,” tulis media Jepang itu.
Atas dasar ini, Japan Times menyebut Bosozoku sebagai salah satu bentuk kenalan remaja di Jepang. Apalagi, kelompok ini juga terbukti dekat dengan kelompok kriminal Yakuza. Singkatnya, Bosozoku menjadi ‘duri dalam daging’ di tatanan kehidupan masyarakat Jepang yang dikenal sopan, santun, dan hidup teratur. Polisi selalu gagal mengatasi ulah mereka. Warga pun resah.
Akibatnya muncul asosiasi, semua pengendara motor bagian dari Bosozoku yang kerap bikin ulah. Alhasil, lahir sentimen dan stereotip kepada pengendara roda dua yang kemudian dipercaya masyarakat luas. Padahal, tak semua bertindak kriminal. Dari sinilah, untuk mencari aman, motor mulai jarang digunakan dan dibeli masyarakat.
Munculnya sentimen tersebut lantas terus berlangsung bertahun-tahun yang membuat pandangan warga atas motor berubah. Apalagi dalam perjalanannya motor, atau mobil sekalipun, tak lagi dianggap penting warga Jepang. Ini terjadi karena mereka punya sistem transportasi yang baik dan hidup dalam kungkungan aturan rumit kepemilikan kendaraan.
Sampai sekarang, Bosozoku masih ada dalam skala kecil. Meski begitu, laporan Japan Times 2022 lalu menyebut pengguna motor di Jepang mulai merangkak naik. Pada semester I 2022, penjualan motor bermesin 251 cc naik 32% menjadi 51.035 unit.
Hal ini bisa terjadi karena banyak warga mulai menghabiskan banyak waktu di luar rumah pasca-pandemi. Salah satu caranya adalah dengan mengendarai motor karena bisa didapat lebih cepat dibanding mobil.