Jakarta, CNBC Indonesia – Keberadaan utang yang tak terkontrol membuat seseorang menjadi sengsara. Ada banyak kasus, salah satunya terjadi pada Kwik Djoen Eng, salah satu orang terkaya Indonesia di masa kolonial.
Kwik mempunyai kerajaan bisnis gula super besar di dunia yang berpusat di Solo dan tersebar hingga Jepang. Akan tetapi, kerajaan bisnis yang dibangun hancur tak tersisa karena kebiasaan konyol: terlilit utang akibat memakai sistem “gali lubang tutup lubang”.
Bagaimana ceritanya?
Sebagai catatan, Kwik Djoen Eng adalah warga Fujian, China, yang berbisnis di Jawa pada 1877. Dia bersama saudaranya mendirikan Kwik Hoo Tong Handelmaatschappij (KHT). Perusahaan yang berdiri pada 17 Juli 1894 ini memperdagangkan hasil bumi, seperti gula, teh, beras, minyak kelapa, dan arang.
Di perusahaan, Kwik menjadi orang nomor satu. Alexander Claver dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java (2014) menyebut kepandaian pria kelahiran 1860 berkomunikasi membuat banyak bank mudah percaya pada dirinya.
Dia berhasil membuat percaya Bank Sentral Hindia Belanda, de Javasche Bank (DJB), untuk mengeluarkan pinjaman. Selain itu, dia juga berhasil menggaet Bank of Taiwan, Bank Jepang, hingga bank asal Inggris, yakni Standard Chartered sebagai pemodal. Uang ratusan ribu gulden pun keluar dari brankas bank-bank tersebut.
Semua itu membuat bisnis KHT makin berjaya. Terlebih, saat KHT fokus bisnis gula. Leo Suryadinata dalam Southeast Asian Personalities of Chinese Descent (2012) menceritakan, di tangan Kwik Djoen Eng KHT melesat jadi perusahaan papan atas yang sukses menyaingi perusahaan gula Kian Gwan, milik raja gula Oei Tiong Ham.
KHT juga masuk 5 perusahaan terbesar dunia pada 1920. Total keuntungannya mencapai 14 juta gulden. Bisnis yang awalnya berpusat di Solo perlahan mulai merambah hingga China dan Jepang. Perusahaan juga aktif berinvestasi di banyak perusahaan dan bank.
Pada titik ini, uang pribadi Kwik mencapai 50 juta gulden, sehingga dia menjadi salah satu dari sedikit orang terkaya di zaman penjajahan. Uang segitu dia gunakan untuk membangun istana megah yang tersebar di beberapa wilayah.
Akan tetapi, modal bisnis yang berasal dari utang menjadi malapetaka. Kwik memang pandai mendapat kredit bank, tapi semua itu membuat utangnya mencapai jutaan gulden. Awalnya, KHT bisa mencicil utang dari keuntungan bisnis.
Namun, ketika terjadi kemerosotan omset, KHT berada di pinggir jurang. Saat keuntungan menurun mulai tahun 1925, pembayaran utang jadi macet. Total ada 9 juta gulden yang belum dibayar.
Untuk mengakali semua itu, Kwik melakukan sistem gali lubang tutup lubang. Dia mengajukan pinjaman lagi untuk membayar utang. Semua itu praktis membuat KHT terlilit utang. Seluruh bank kreditur sudah memberi lampu kuning.
Alexander Claver menceritakan, pihak berwenang mengancam akan melakukan intervensi dan mengajukan kebangkrutan jika tidak ada pembayaran atau kompensasi yang ditawarkan.
Pada akhirnya, di minggu terakhir Januari 1935, setelah 40 tahun membangun kerajaan bisnis di Indonesia dan dunia, riwayat KHT dinyatakan selesai karena tak bisa lagi membayar utang. Seluruh aset-aset KHT dan Kwik disita oleh de Javasche Bank yang kini jadi Bank Indonesia.
Namun, penyitaan itu tak bisa memulihkan seluruh utang saking besarnya. Pada saat penyitaan ini berlangsung, Kwik Djoen Eng meninggal dunia. Dia wafat tanpa harta sedikitpun. Meski begitu, jejak kehidupannya masih bisa ditemukan melalui istana di Semarang.
(mfa/mfa)