Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah ketidakpastian ekonomi, investasi emas dianggap jalan terbaik. Begitulah yang diyakini oleh miliarder Indonesia Eka Tjipta Widjaja semasa muda di tahun 1960-an.
Di samping memiliki uang tunai, dia juga punya kebiasaan beli emas. Kebiasaan ini pula yang menjadi inspirasi saat menamai kerajaan bisnis yang mengantarkannya punya Rp140 triliun. Menariknya, saat sudah kaya dia mengaku miskin dan putuskan hidup sederhana.
Bagaimana kisahnya?
Berkah koleksi emas
Eka Tjipta Widjaja merupakan pengusaha Indonesia kelahiran Quanzhou, China, 27 Februari 1921. Kendati lahir di negeri seberang, dia tumbuh besar di Makassar karena dibawa ayahnya mencari peruntungan. Di kota inilah, dia belajar bisnis.
Diketahui, dia sering membantu ayahnya berjualan di toko kelontong. Selain itu dia juga mulai berjualan babi, sirup, dan biskuit dari rumah ke rumah. Semakin tumbuh dewasa, dia memulai berjualan kopra hingga ke luar pulau.
“Abad ke-20 menunjukkan perhatian pada kegiatan produsen spesifik dan terjumpa para pedagang Hakka pimpinan Luitenant Kwee Meng Seng yang sempat menggarap benang kelapa,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:261).
Titik balik Eka di dunia bisnis terjadi pada 1962 kala mendirikan perusahaan CV Sinar Mas yang bergerak di ekspor-impor hasil bumi dan tekstil. Dalam makalah berjudul “Sejarah Perjuangan Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha Sinar Mas Group” yang disampaikan di seminar tahun 1995, Eka bercerita kalau penamaan tersebut dikarenakan hobinya mengoleksi emas.
Tahun 1960-an ekonomi Indonesia memang sedang memburuk. Inflasi tinggi. Nilai tukar rupiah pun naik turun. Atas dasar ini, keputusan mempunyai emas jadi jalan terbaik, sehingga dia juga berharap perusahaannya berkilau seperti emas.
“Saya biasanya mengadakan transaksi harian dengan cash. Kalau ada sisa saya beli emas batangan. Karena emas selalu bertahan nilainya dan selalu bersinar,” ucap Eka.
Siapa sangka, harapan itu benar terwujud. Beberapa tahun kemudian Sinar Mas jadi perusahaan ternama di Indonesia. Terlebih usai berkecimpung di produksi kelapa sawit dan minyak goreng. Begitu pula nama Eka yang semakin berkibar.
Ngaku Miskin & Hidup Sederhana
Naik daunnya nama Eka sebagai pengusaha praktis membuat banyak orang mengira dirinya kaya raya. Apalagi banyak pula media yang menempati namanya di papan atas orang terkaya Indonesia.
Majalah Eksekutif edisi Februari 1994, misalnya, menempatkan nama Eka sebagai orang ke-3 terkaya di Indonesia berharta Rp13 triliun. Dia hanya kalah dengan Sudono Salim (bos Salim Group) dan Prajogo Pangestu (bos Barito Pacific).
Semua itu dimaklumi Eka. Hanya saja, dia justru tak merasa dirinya kaya raya. Malah merasa miskin, sehingga harus hidup sederhana.
“Buat saya pribadi, merasa sangat miskin,” katanya
Bagi Eka, semua uang harus dipergunakan secara bijak, alias tidak sembarangan. Uang tersebut sepatutnya dimanfaatkan untuk kewajiban yang lebih besar, alih-alih kepentingan pribadi. Sebut saja seperti membayar hutang dan bunganya, serta keperluan ekspansi bisnis.
“Sifat kebiasaan saya jikalau masih ada laba sebagai kekayaan masih mempunyai kekayaan di perusahaan, selalu dipergunakan untuk ekspansi usaha tersebut,” ujar Eka.
Akibat sikap ini, semasa aktif berbisnis di masa Orde Baru, Eka mencitrakan diri sebagai sosok sederhana salah satunya dengan menggunakan pakaian itu-itu saja. Jika bos Facebook Mark Zuckerberg kini kerap memakai kaos polos dan celana jeans, maka Eka dulu sering mengenakan setelan kemeja putih yang dibalut jas dan celana hitam.
Atau saat berpergian dia juga mengaku jarang belanja sebab fokus untuk urusan bisnis. Saat pergi ke Singapura, misalnya, dia mengaku hanya mengeluarkan uang kurang dari 100 Dolar Singapura. Itu pun untuk memberi tip di restoran.
Baginya, semua kekayaan di dunia tak bisa dibawa mati. Jadi, tak perlu menonjolkan kekayaan.
“Jika saya selama hidup tidak pergunakan kekayaan saya, apalagi kalau sudah mati juga tidak dapat membawa uang itu,” pungkasnya
Sikap seperti ini terus dipegang Eka Tjipta hingga meninggal dunia pada 26 Januari 2019 di usia 98 tahun.
Selama hampir seabad, dia bisa menyaksikan sendiri harapannya di tahun 1962 terwujud: Sinar Mas benar-benar bersinar layaknya emas. Sinaran itu pula yang membuatnya banyak penghargaan, baik itu terkait kekayaannya sendiri seperti dinobatkan Forbes (2018) sebagai orang terkaya ke-3 di Indonesia berharta US$8,6 miliar atau Rp140 T. Atau dalam aksi filantropi.
Referensi: https://cnbcindonesia.com/entrepreneur/20240619162950-27-547553/video-incar-pasar-anak-muda-ini-sumber-cuan-bisnis-mie-kekinian
(mfa/sef)