Jakarta, CNBC Indonesia – Kasus korupsi di Indonesia selalu menjadi topik panas, khususnya terkait hukuman atas kasus yang menjerat. Para koruptor seringkali menerima vonis yang dianggap banyak orang tak bisa membuatnya jera. Padahal, aksi mereka merampok uang rakyat seharusnya mendapat hukuman setimpal, seperti hukuman mati.
Akan tetapi, vonis hukuman mati tidak pernah diberikan lagi setelah kasus Jusuf Muda Dalam alias JMD. JDM merupakan Menteri Urusan Bank Sentral (Kini Gubernur Bank Indonesia) di era Soekarno. Dia jadi orang pertama dan satu-satunya di Indonesia yang dihukum mati karena korupsi uang Rp97 miliar.
Bagaimana ceritanya?
Seperti diketahui, posisi JMD di pemerintahan (1963-1966) sangat sentral dan kencang “angin godaan”. Sehari-hari mengurusi uang negara praktis membuatnya berada di lahan “basah”. Sayang, JMD tak kuat iman.
Dia malah mengambil uang negara untuk keperluan pribadinya. Aksi ini kemudian terungkap pada Agustus 1966 dan menjadi skandal cukup heboh di masanya. Penangkapan dilakukan oleh Letnan Jenderal Soeharto, sosok yang kelak jadi Presiden RI Ke-2.
Secara mengejutkan, ternyata JMD mengambil uang Rp97 miliar. Nominal segitu cukup besar di masanya. Harga bensin saja masih Rp0,5 per liter. Sedangkan harga emas masih kisaran Rp1.000 per gram. Jika dikonversikan ke hasil curian JMD, tentu bisa dibayangkan bisa berapa banyak liter bensin dan kiloan emas yang didapat.
Uang-uang tersebut lantas digunakan JMD untuk foya-foya. Dia membeli rumah, tanah, perhiasan, dan sebagainya. Bahkan dari uang tersebut juga diketahui dia alirkan ke beberapa wanita yang disukainya. Mengacu pada laporan kasusnya berjudul Anak Penyamun Di Sarang Perawan (Skandal JMD) (1966), diketahui ada 25 perempuan yang menikmati uang hasil korupsi JMD.
Mereka diberi uang, rumah hingga mobil. Selain itu, para perempuan itu juga ada yang dinikahinya. Dia diketahui punya istri enam. Salah satu perempuan yang terseret dalam pusaran kasus JMD adalah penyanyi kondang Titiek Puspa.
Titiek yang masih berusia 29 tahun dituduh dibelikan mobil baru oleh JMD. Bahkan, banyak orang mengira pula dia menjadi perempuan simpanan dan bertugas memoroti sang menteri. Meski begitu, tuduhan ini dibantah langsung oleh Titiek.
Dalam otobiografi Titiek Puspa a Legendary Diva (2008), dia mengaku mobil tersebut dibeli menggunakan uangnya sendiri. Hanya saja, dia membelinya dalam kondisi sedikit rusak dari tangan Jusuf Muda Dalam. Transaksi pun dilakukan di kediaman JMD karena dia diajak seorang wanita.
Akan tetapi, saat itu tak ada yang percaya ucapannya. Titiek pun menjadi target amarah masyarakat karena terseret skandal tersebut. Mobil yang baru saja dibelinya diambil mahasiswa yang mendemo. Setelahnya, Titiek tak lagi melihat mobil tersebut.
Selain Titiek, JMD juga memberikan hadiah ke beberapa perempuan usia 20-an tahun. Mereka dibelikan mobil bermerek seperti Mazda dan Fiat, rumah, dan diberikan uang dengan dalih dana pendidikan. Saat proses pengadilan, JMD membantah tuduhan dia mengambil uang negara, tapi juga dia mengakui kalau punya istri banyak.
Soal uang negara, dia mengaku tindakan tersebut untuk mendukung misi revolusioner Soekarno berdasarkan dukungan kabinet. Akan tetapi, hakim memandang itu semua hanya bualan semata.
Pada September 1966, setelah mendengarkan kesaksian dari 175 orang, dia diputuskan bersalah atas kasus korupsi, perkawinan tidak sah, kepemilikan senjata api, dan tindakan subversi. Selain itu dia juga dianggap pemerintah Orde Baru terlibat dalam Gerakan 30 September. Pengadilan menjatuhinya hukuman mati.
Setelah kejadian itu, kejayaan dan kekayaan JMD langsung hilang. Dia sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 8 April 1967. Namun, MA menolak kasasi dan memutuskannya layak dihukum mati.
Akan tetapi, JMD cukup beruntung tak melihat algojo mengakhiri hidupnya. Sebelum dihukum mati, dia sudah meninggal terlebih dahulu di penjara akibat tetanus pada September 1976.
Presiden Soeharto berharap kejadian korupsi JMD jadi pelajaran penting bagi pejabat di masa Orde Baru. Jangan sampai mereka bernasib sama.
“Janganlah kita Orde Baru berbuat dosa kepada rakyat, bangsa, dan negara, baik secara sadar maupun tak sadar, melakukan perbuatan yang dilakukan di masa Orde Lama itu,” ungkap Soeharto, dikutip Tempo (4 September 1976).
(mfa/mfa)