Di pinggir jalan perkotaan Indonesia, sering ditemukan gerai-gerai toko biru yang menjual obat kuat. Melihat penjualan yang seperti itu, tak sedikit orang tergelitik dan berpikir “mana bisa kaya dari hanya jual obat kuat”.
Meski begitu, kisah dari keluarga terkaya negeri tetangga berhasil membuktikan. Bahwa hanya menjual obat kuat, bisa punya harta US$ 36 miliar atau Rp573 Triliun.
Bagaimana kisahnya?
Keluarga tersebut adalah trah Yoovidha. Sejarah keluarga bermula dari Chaleo Yoovidhya. Awalnya Chaleo hanya pekerja kantoran biasa yang berprofesi di dunia farmasi.
Sekali waktu di tahun 1970, Chaleo iseng meracik minuman campuran gula dan kafein. Jumlahnya sangat banyak. Chaleo percaya ramuan tersebut bakal membuat seseorang yang menenggaknya kuat, khususnya para kuli.
Saat itu, Thailand sedang menikmati pesatnya pertumbuhan ekonomi negara. Berbagai proyek dilaksanakan secara masif dan besar-besaran. Tulang punggung pembangunan proyek itu adalah kuli alias pekerja kasar.
Tanpa peluh keringat, tidak ada bangunan berdiri tegak di atas tanah. Maka, perhatian khusus banyak diberikan kepada para kuli.
Alhasil, ramuan “obat kuat” Itu diserahkan kepada para kuli. Tak disangka, tiap orang yang menenggaknya, niscaya energi akan datang bertubi-tubi. Bahkan, bisa mengusir lelah, kantuk, dan membuat seseorang bisa lebih fokus.
Minuman itu kelak diproduksi besar-besaran dan dinamai Kratingdaeng. Bagi para pekerja kasar, minuman ini sesuai dengan pekerjaannya yang membutuhkan gerak fisik sangat besar.
Alhasil, dalam sekejap Kratingdaeng menjadi sangat populer. Karena bisa mendampingi mereka dalam mendongkrak aktivitas.
Popularitas Kratingdaeng buatan Chaleo dilirik oleh sales deterjen asal Austria, Dietrich Mateschitz.
Pada 1980-an, dia datang pertama kali ke Bangkok untuk kepentingan pekerjaan dengan menempuh perjalanan udara selama 13 jam.
Guna menghilangkan jet lag, sales perusahaan deterjen itu memberanikan menenggak minuman berenergi tersebut. Tak disangka, jet lag-nya hilang dan dia bisa semangat seperti sedia kala.
Dari sinilah, Mateschitz punya ide bisnis menarik. Dia ingin Kratingdaeng mendunia dan tak hanya dijual di Thailand saja.
Singkat cerita, ide itu baru terwujud pada 1 April 1987. Dengan izin Chaleo, Mateschitz memberanikan diri menjual minuman energi itu secara global dengan target pasar pertama penduduk Austria.
Nama minuman itu adalah Red Bull. Dia menjual kepada para pekerja kerah biru dan menaruhnya di etalase tempat wisata dengan harga super mahal. Ini berbeda dengan Thailand yang menargetkan kuli.
Menurut Reinhard Kunz dalam Sport-Related Branded Entertainment: The Red Bull Phenomenon (2016), keputusan menjual Red Bill di luar awal target pasar dan harga mahal bertujuan untuk membentuk target pasar baru. Mateschitz percaya jika ini dilakukan, maka akan terbentuk komunitas pecinta Red Bull, sehingga bakal terbentuk kesan eksklusif.
Selain itu Mateschitz juga menjadikan Red Bull di sponsor olahraga Formula 1. Di ajang olahraga balapan ekstrim itu, perusahaan nekat menjadi sponsor ratusan atlet dan mendirikan tim balap sendiri.
Tentu, tujuan turun gunung itu bukan cuma agar dikenal para penggemar F1 di seluruh dunia, tetapi juga supaya bisa membuktikan bahwa produknya benar-benar bermanfaat. Dengan logo banteng berwarna merah yang menunjukkan kekuatan, Red Bull ingin para konsumennya bisa seperti banteng dan para atlet olahraga ekstrim: kuat dan bertenaga.
Pada akhirnya, ini semua membuahkan hasil. Red Bull berjaya, begitu juga Kratingdaeng. Dalam situs resmi, tercatat pada 2023 lalu produk sukses terjual 11,583 miliar kaleng.
Kesuksesan ini membuat kekayaan Chaleo juga ikut naik. Forbes (2024) mencatat dia dan keluarga, yang lini bisnisnya kini dikendalikan oleh Chalerm Yoovidhya (generasi ke-2) , punya US$ 36 miliar atau setara Rp 573 Triliun. Nominal ini membuatnya dinobatkan sebagai keluarga terkaya di dunia, yang semua bermula dari jualan obat kuat.