Industri dalam Negeri Menuju Kebangkrutan, Politisi Berpesan: Pemerintah Perlu Menilai Diri!

by -73 Views
Industri dalam Negeri Menuju Kebangkrutan, Politisi Berpesan: Pemerintah Perlu Menilai Diri!

Jakarta – Mayoritas industri di Indonesia hancur karena beban yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha sangat besar. Bukan hanya karena barang impor. Pemerintah perlu waspada, karena hancurnya industri dalam negeri akan berdampak luas pada kehidupan masyarakat kecil dan menengah, baik sebagai konsumen maupun tenaga kerja industri di Indonesia.

Anggota Dewan terpilih 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan untuk mengurangi jumlah barang impor yang masuk ke Indonesia, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi sektor industri dalam negeri.

“Beri kemudahan bagi pelaku industri. Jangan bebankan mereka dengan biaya yang besar. Hal ini akan mendorong pertumbuhan industri kecil dan menengah yang dapat menjadi pendukung bagi industri besar. Jika industri kita kuat, harga kompetitif, dan kualitas produk baik, masyarakat tidak akan memilih produk impor,” kata BHS, Selasa (20/8/2024).

Ia menyebutkan skema untuk mendukung sektor industri telah diterapkan oleh negara industri seperti Cina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Mereka memberikan perlakuan yang baik kepada para pelaku industri.

“Pengusaha kita ketika masuk ke negara-negara tersebut disambut dengan baik. Sehingga pengusaha lebih memilih membuka usaha di negara-negara tersebut karena kemudahan dan biaya yang murah, serta infrastruktur yang baik,” ujarnya.

Langkah kemudahan ini dimulai dengan perizinan yang tidak berbayar dan cepat. Berbeda dengan situasi di Indonesia yang sering menjadi keluhan bagi para investor.

“Ketika saya menjadi anggota DPR, saya berkunjung ke Cina dan menyebutkan bahwa perizinan di Indonesia membutuhkan waktu 3 jam. Namun, pihak yang mewakili pemerintah dan beberapa pengusaha di Cina menepisnya dengan mengatakan bahwa sebenarnya bisa memakan waktu hingga 3 bulan atau bahkan 3 tahun,” katanya.

BHS menyoroti beban biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha di Indonesia, termasuk PPH, PPN, PBB, PPnBC, pajak karyawan, pajak daerah, dan PNBP.

“Para pengusaha di sini tentu merasa bingung. Biaya pajak yang harus mereka tanggung sangat tinggi, belum lagi pajak yang tidak resmi. Terlalu banyak biaya yang harus mereka tanggung,” kata Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra.

Masalah lain yang memberatkan sektor industri adalah suku bunga bank di Indonesia yang tinggi dibandingkan dengan negara tetangga.

“Bunga bank di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Di Malaysia sekitar 3-5 persen, di Vietnam sekitar 6 persen, Brunei 5.50 persen, dan bahkan di Cina hanya 4.35 persen. Sementara di Indonesia bisa mencapai 10-12 persen,” ujar BHS.

Ditambah dengan biaya energi seperti listrik, BBM, gas, dan air yang juga tinggi meski Indonesia memiliki sumber daya energi yang melimpah. Namun, harga gas di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.

“Di Malaysia, harga gas bisa 1/3 dari harga gas di Indonesia. Bahkan di Cina, harga gas untuk industri murah berkisar antara 3-5 Dollar Amerika per MMBTU. Sedangkan di Indonesia, harga gas termurah masih sekitar 7 Dollar Amerika per MMBTU. Bagaimana industri bisa bertahan?” ungkapnya.

Hal yang sama terjadi pada harga BBM Solar Industri di Indonesia yang tidak mendapatkan subsidi, berbeda dengan di Malaysia yang tidak disubsidi namun harganya lebih murah.

“Belum lagi biaya industri akibat buruknya infrastruktur jalan di Indonesia. Jalan di Kalimantan dan Sumatera sebagian besar tidak layak dan bahkan offroad. Ini menghambat transportasi logistik hasil industri dan membuat biaya ekonomi tinggi,” tambahnya.

Salah satu keluhan dari pengusaha terkait sektor buruh adalah seringnya demo yang memengaruhi iklim industri yang dianggap tidak sehat.

“Jangan salahkan jika industri kita tidak bisa bersaing dengan industri lain, termasuk negara tetangga kita. Kita harus banyak mengimpor karena industri pendukung kita tidak berkembang. Jadi bahan baku tekstil sebagian besar diimpor dari Cina. Bagaimana harga produk tekstil industri Indonesia bisa bersaing?” tegas BHS.

Kendala lainnya adalah daya beli masyarakat yang melemah karena biaya hidup yang semakin tinggi, khususnya dalam sektor pangan, energi, kesehatan, pendidikan, serta cicilan tempat tinggal yang juga mengalami kenaikan.

“Pemerintah harus introspeksi diri! Industri hancur karena rakusnya perpajakan kita,” ungkapnya.

BHS juga mengimbau pemerintah untuk lebih aktif mempromosikan dan mendorong penggunaan produk industri dalam negeri. Peran Pemerintah dalam mendukung industri dalam negeri harus ditingkatkan.

“Pemerintah harus memberikan insentif berupa pajak, energi, bunga bank dan menciptakan iklim usaha yang kondusif tanpa adanya pungutan liar. Pemerintah juga harus mendorong pasar untuk produk dalam negeri, serta dikelola oleh orang-orang profesional agar iklim usaha di Indonesia berkembang lebih baik,” pungkasnya.