Jakarta, CNBC Indonesia – Kisah Alfonso de Albuquerque, seorang kapten kapal laut Portugis bernama Flor de la Mar, mengejutkan dunia. Dia merampok 60 ton emas dari Malaysia sebelum kapalnya karam di perairan Indonesia dan menjadi harta karun yang belum pernah ditemukan.
Kisah ini dimulai pada tahun 1511, ketika Portugis ingin menguasai rempah-rempah melalui jalur penjelajahan samudra. Alfonso de Albuquerque, sebagai seorang pelaut, membuka jalan bagi ekspedisi besar-besaran pemerintah Portugis dengan kapalnya, Flor de la Mar.
Selain Flor de la Mar, Alfonso juga memimpin berbagai kapal lain yang dilengkapi dengan peralatan perang seperti senjata api dan meriam. Kapal-kapal ini memiliki ukuran yang berbeda-beda.
Namun, Flor de la Mar adalah kapal terbesar dengan panjang 36 meter, berat 400 ton, dan mampu mengangkut 500 orang pelaut dan 50 senjata. Keberadaan Flor de la Mar menjadi yang terbesar di Eropa pada masanya.
Semua kapal diarahkan oleh Alfonso ke Malaka sebagai pusat rempah-rempah. Ekspedisi ini dicatat dalam sejarah sebagai armada Portugis terbesar. Ternyata, rombongan ini tidak hanya membawa rempah-rempah, tetapi juga menguasai wilayah.
Alfonso berpikir bahwa menguasai wilayah akan lebih menguntungkan daripada sekadar berdagang. Oleh karena itu, dia membawa pasukan militer tanpa sepengetahuan penguasa Malaka saat itu, Kesultanan Malaka.
Menurut Nigel Cameron dalam Barbarians and Mandarins (1976), Alfonso menjalankan siasat licik dengan niat jahat. Dia mulai berdagang dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat. Namun, dia tiba-tiba menyerang dan menaklukkan Kesultanan Malaka dengan ribuan pasukannya.
Akibat penaklukan ini, kejayaan Malaka selama ratusan tahun hancur dengan cepat. Perdagangan resmi di Malaka kemudian dikuasai oleh Portugis.
Alfonso tidak hanya menguasai perdagangan, tetapi juga merampok semua harta Kesultanan Malaka yang terhormat. Ia membawa semua rampokannya, termasuk 60 ton emas, dengan Flor de la Mar. Ini menjadi rampokan terbesar di dunia.
Saat mengangkut rampokan, banyak yang menduga bahwa Flor de la Mar akan terlalu penuh dengan muatan. Tetapi Alfonso tetap melanjutkan pelayaran meskipun diiringi oleh kapal-kapal kecil untuk mengawal Flor de la Mar.
Semuanya berjalan lancar pada awalnya, tetapi pada hari kedua pelayaran, badai sangat dahsyat menerjang. Semua kapal berguncang, terutama Flor de la Mar yang terlalu berat.
Menurut Peter O. Koch dalam bukunya To the Ends of the Earth: The Age of the European Explorers (2015), kapal kelebihan muatan itu tenggelam di Laut Aceh. Saat badai melanda, tidak ada yang menyelamatkan 60 ton emasnya. Semua orang sibuk menyelamatkan diri, termasuk Alfonso de Albuquerque.
“Ekspedisi ini ditakdirkan untuk bukti sifat serakah,” tulis Peter O. Koch.
Hingga kini, 60 ton emas masih menjadi misteri. Emas itu kemungkinan masih tersimpan dengan baik karena sifatnya yang tahan air. Lokasinya mungkin telah berpindah dari titik awal tenggelamnya kapal, sehingga belum ada yang berhasil menemukannya.
(mfa/wur)