Selama Ini Tidak Tepat, Toko Kelontong Bukan ‘Buat di RI Namun..’

by -49 Views
Selama Ini Tidak Tepat, Toko Kelontong Bukan ‘Buat di RI Namun..’

Toko kelontong telah menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari. Keberadaannya yang mudah dijangkau menjadi alasan mengapa toko kelontong tidak pernah sepi.

Namun, tahukah Anda bahwa merajalelanya toko kelontong di sudut wilayah bukanlah ide asli dari orang Indonesia? Sejarah membuktikan bahwa toko kelontong di Indonesia bermula dari kebiasaan para imigran Tionghoa saat berdagang. Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan hal ini dimulai, namun dapat dipastikan bahwa kebiasaan ini bermula dari masa kolonial.

Pada mulanya, para imigran Tionghoa yang menetap di Indonesia mencari penghasilan melalui bisnis. Mereka awalnya berjualan di pasar, namun kemudian mulai menjajakan barang-barang secara keliling. Saat berjualan keliling, para pedagang Tionghoa melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain, yaitu mengeluarkan suara untuk menarik perhatian orang. Awalnya mereka hanya berteriak-teriak, namun kemudian mulai menggunakan alat untuk menghasilkan suara khas.

Alat yang digunakan terbuat dari logam dan berbentuk lingkaran kecil yang dipukul oleh bandul kayu. Bunyi yang dihasilkan biasanya berupa “thong…thong” atau jika suara gemericik besi semakin besar, akan berubah menjadi “klonthong…klonthong.” Dari situlah, para pembeli mulai mengidentifikasi para pedagang Tionghoa sebagai pedagang kelontong.

Sejarawan Peter Carey dalam bukunya “Orang Jawa dan Masyarakat Cina” (1985) menjelaskan bahwa para pedagang Tionghoa biasanya menjual kebutuhan sehari-hari melalui metode kelontong. Mereka menjajakan barang seperti kapas, garam, tembakau, jahe, sutera, hingga candu.

Karena berdagang dengan cara berjalan kaki, para pedagang Tionghoa dapat menjangkau banyak lokasi yang tidak dapat diakses oleh orang lain. Seiring dengan luasnya area dagangan, para pembeli mulai mengenali para pedagang Tionghoa sebagai pedagang kelontong. Para imigran Tionghoa pun mulai mendapatkan kekayaan dari bisnis ini.

Ketekunan dan kegigihan para pedagang Tionghoa dalam menjajakan barang secara keliling kepada calon pembeli membuat mereka semakin dikenal. Ketika popularitas mereka bertambah, mereka mulai menggunakan alat atau layanan orang lain untuk mengangkut barang. Bahkan, mereka mulai membuka toko tetap yang dalam bahasa Tionghoa Hokkian disebut sebagai toko.

Toko sendiri berasal dari bahasa Tionghoa Hokkian yang artinya “tempat menjual barang.” Meskipun mereka berdagang di toko, para pembeli tetap memandang mereka sebagai pedagang kelontong, bukan pedagang toko.

Denys Lombard dalam bukunya “Nusa Jawa Silang Budaya” (2005) menjelaskan bahwa para pedagang Tionghoa biasanya memiliki pola berdagang tersendiri di toko. Mereka biasanya mendirikan toko di sepanjang jalan dengan dua deret toko saling berhadapan. Konsep ini mirip dengan konsep toko retail modern seperti Indomaret dan Alfamart yang sering berdekatan.

Di toko kelontong, para pedagang Tionghoa menata barang-barang di rak secara rapi agar menarik dan memudahkan pembeli. Cara ini terbukti efektif dalam berdagang dan mendulang kekayaan. Kesuksesan ini kemudian menginspirasi banyak imigran Tionghoa lainnya untuk membuka toko kelontong. Hingga tahun 1950-an, banyak imigran Tionghoa yang membuka toko kelontong di desa-desa dan kota-kota Indonesia.

Saat ini, toko kelontong tidak hanya didominasi oleh para Tionghoa, tapi juga oleh orang dari etnis lain yang mengikuti jejak mereka. Dari situlah, toko kelontong menjadi sebutan umum untuk toko yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

(mfa/sef)