Tokoh Nahdlatul Ulama, Umar Syadat Hasibuan, menilai bahwa demokrasi di Indonesia memiliki harga yang terlalu mahal. Hal ini terungkap setelah BEM Fisip UNAIR, Surabaya, dibekukan karena membuat karangan bunga satire untuk Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Gus Umar menyatakan kekecewaannya terhadap kondisi ini, dengan menyebut bahwa kritik terhadap pelantikan presiden bisa berujung pada sanksi yang keras seperti pembekuan organisasi. Namun, kabar baik datang ketika Dekanat memutuskan untuk mencabut surat pembekuan tersebut setelah Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, turun tangan meminta Universitas Airlangga untuk membatalkan keputusan tersebut.
Tidak hanya itu, kasus yang disebutkan juga merambah pada Jurnalis Senior Najwa Shihab yang di-bully oleh netizen karena pernyataannya mengenai Presiden Joko Widodo ‘nebeng’ pesawat TNI AU saat pulang ke Solo setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Gus Umar pun mempertanyakan sejauh mana kondisi demokrasi di tanah air ini, jika kritik yang seharusnya menjadi wujud dari kebebasan berpendapat justru mendapat respons negatif yang mengakibatkan intimidasi.
Insiden lain yang mencuat adalah pembakaran buku karya Najwa Shihab berjudul “Catatan Najwa”, yang diduga dilakukan oleh kelompok buzzer sebagai bentuk serangan dan hujatan terhadapnya. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kondisi kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia tengah menghadapi tantangan yang serius.