Sistem pajak telah menjadi salah satu andalan negara, termasuk Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan. Namun, sistem pajak seringkali memberatkan masyarakat, terutama dari kalangan menengah. Mereka yang memiliki pendapatan pas-pasan harus terbebani dengan pajak berlapis, yang pada akhirnya membuat dompet semakin tipis.
Sejarah mencatat bahwa sistem pajak pertama kali diperkenalkan oleh Firaun dari Mesir Kuno. Namun, di Indonesia, orang pertama yang memperkenalkan sistem pajak adalah Thomas Stanford Raffles. Sejak era VOC hingga pendirian Hindia Belanda, masyarakat tidak mengenal pajak. Namun, ketika Raffles tiba di Hindia Belanda atas nama Kerajaan Inggris pada tahun 1811, dia memperkenalkan sistem pajak Barat ke masyarakat setempat.
Raffles menganggap Inggris memiliki hak atas semua tanah di Jawa, sehingga petani yang memiliki tanah atau bekerja di tanah orang harus membayar pajak tanah. Meski demikian, praktiknya berbeda dengan upeti karena berbentuk uang dan diterapkan secara individual. Meskipun Raffles hanya berkuasa untuk sementara waktu, sistem pajak yang dia perkenalkan kemudian diadopsi kembali saat Belanda kembali menjajah Indonesia.
Pada tahun 1830, pajak tidak berhasil meningkatkan pendapatan, sehingga pemerintah menerapkan kebijakan Tanam Paksa yang sangat memberatkan rakyat. Modernisasi sistem pajak baru terjadi pada tahun 1870 setelah Tanam Paksa dihapuskan. Pemerintah kemudian memperkenalkan pajak pribadi, pajak usaha, dan pajak jual beli.
Meskipun pajak juga dikenakan kepada orang Eropa dan pribumi kaya, pribumi tetap menyumbang pajak terbesar bagi pendapatan Hindia Belanda. Perubahan konsep pajak kemudian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun masih dianggap jauh dari harapan, meskipun sudah diterapkan selama lebih dari 200 tahun di Indonesia.