Raja terkaya Indonesia, Mangkunegara VI, menolak hidup mewah dan memilih hidup sederhana untuk mencegah masyarakat miskin dan negara kebangkrutan. Meskipun memiliki kekayaan dari sistem feodalisme kerajaan dan bisnis gula, Mangkunegara VI berada di posisi sulit saat naik takhta pada 1896 karena kerajaannya terancam kebangkrutan akibat kemerosotan pendapatan bisnis gula.
Banyak bangsawan hidup mewah dan pemborosan, sehingga Mangkunegara VI melakukan terobosan dengan hidup hemat dan rela sengsara. Dia hanya menerima gaji rendah dari pemerintah kolonial dan menolak kenaikan gaji serta tunjangan.
Mangkunegara VI juga melarang keluarga hidup mewah dan memboroskan uang, mengadakan pesta mewah, serta mengurangi birokrasi yang makan biaya. Hasilnya, kas Praja Mangkunegaran meningkat dan uang digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti beasiswa, pembangunan sekolah, infrastruktur, dan pembangunan kampung. Meskipun kebijakannya membuat masyarakat sejahtera, bangsawan tidak lagi memiliki keistimewaan, sehingga pada akhirnya, Mangkunegara VI turun takhta pada tahun 1916. Meski dicintai rakyat, kebijakan reformisnya menimbulkan ketidakpuasan di kalangan bangsawan.