Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5%. Angka ini akan menjadi acuan pemerintah daerah untuk mengumumkan besaran nominal kenaikan UMP dan Upah Minimum Kota/Kabupaten paling lambat 11 Desember 2024. Besaran angka kenaikan UMP menuai perdebatan panjang di kalangan buruh dan pengusaha. Buruh tentu saja bahagia sebab penghasilannya bakal naik, sementara bagi pengusaha, kenaikan UMP menambah beban pengeluaran mereka. Diskusi mengenai hal ini selalu ada setiap tahun mengiringi penetapan upah minimum setiap tahun.
Sejarah panjang penetapan upah minimum juga mencakup masa kekuasaan Presiden Soeharto, yang beberapa kali menghasilkan peristiwa kontroversial. Kasus Marsinah pada tahun 1993 di mana seorang buruh aktif dibunuh terkait dengan penolakan perusahaan untuk menaikkan upah buruh, masih dikenang oleh masyarakat. Pembunuhan ini menjadi simbol dari pertentangan antara buruh dan pengusaha yang sering kali terjadi saat penetapan upah minimum.
Selama masa kekuasaan Soeharto, sistem upah minimum buruh ditetapkan oleh pusat berdasarkan PP No. 8 tahun 1981 tanpa memperhatikan kondisi regional. Hal ini menyebabkan kebijakan upah yang tidak mengakomodasi kelompok lemah dan membuat buruh mati dalam kemiskinan. Dalam era Orde Baru, keputusan upah minimum sepenuhnya adalah tanggung jawab pemerintah tanpa melibatkan buruh dalam diskusi.
Namun, setelah masa Reformasi, kebijakan upah minimum berubah menjadi disesuaikan dengan kondisi regional, munculnya UMP dan UMR. Perubahan ini memberikan perlindungan lebih bagi buruh dan mengurangi tingkat ketidakadilan yang dulu sering terjadi. Setelah Reformasi, pengusaha pun harus mengikuti aturan upah minimum yang telah ditetapkan dengan sanksi yang lebih ketat jika melanggar. Thise juga memperhatikan hubungan antara pengusaha dan buruh yang harus lebih adil dan berlandaskan kontrak kerja.