Pengusaha di Indonesia semakin resah dengan maraknya pungutan liar yang dilakukan oleh ormas di berbagai proyek di tanah air. Pungli dengan nominal hingga ratusan juta rupiah membuat biaya proyek membengkak, menyulitkan para pengusaha dan menimbulkan ketidakpastian dalam berbisnis. Ketua Umum PHRI sekaligus Wakil Ketua Dewan Pertimbangan APINDO, Hariyadi Sukamdani menyatakan keprihatinannya terkait hal ini, mengungkapkan bahwa praktik ini tidak hanya dilakukan oleh ormas, tetapi juga oleh tokoh masyarakat, menunjukkan kebiasaan yang merugikan.
Praktik pungli sebenarnya sudah berakar sejak zaman kerajaan kuno di Indonesia, dan menjadi bagian dari budaya yang sulit dihapuskan. Sejarawan Onghokham menegaskan bahwa pungli berasal dari kebiasaan pejabat dan sistem pembiayaan tradisional di kerajaan-kerajaan Indonesia. Para pejabat tradisional umumnya tidak menerima gaji tetapi harus mencari sendiri sumber pendapatan, sehingga mereka melakukan upaya-upaya ilegal, termasuk menarik biaya dari rakyat dalam setiap urusan, yang sekarang dikenal sebagai pungutan liar.
Dampak dari praktik pungli ini cukup luas, di mana para pejabat bisa lebih kaya dibandingkan dengan raja itu sendiri. Bahkan, tradisi ini tidak hilang seiring bergantinya zaman, tetapi malah menjadi sesuatu yang diwariskan dan dianggap wajar dilakukan. Inilah yang membuat pungli masih terus terjadi hingga saat ini di Indonesia.
Dengan latar belakang sejarah yang kaya, para pengusaha merasakan urgensi untuk berupaya memerangi praktik pungli ini, agar bisnis mereka dapat berjalan dengan lancar dan aman dari gangguan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab di sekitar proyek-proyek yang mereka jalankan. Seiring perjalanan waktu, diharapkan kesadaran kolektif dari berbagai pihak dapat membantu mengurangi dan menghilangkan pungutan liar yang merugikan ini dari kehidupan berbangsa dan bernegara.