Di Indonesia, ganja dikecam keras karena termasuk dalam kategori narkotika golongan I yang dilarang secara tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Meskipun ganja memiliki potensi untuk digunakan dalam berbagai kepentingan, baik rekreasional maupun medis, namun di Indonesia penggunaannya tetap dilarang. Zat cannabidiol (CBD) dalam ganja, misalnya, telah terbukti memiliki manfaat dalam proses penyembuhan atau peringanan penyakit seperti epilepsi, glaukoma, sindrom Tourette, kecemasan, dan Alzheimer.
Namun, bagi siapa pun yang terlibat dalam penggunaan, pemberian, atau kepemilikan ganja, hukuman pidana yang berat menanti. Hukuman tersebut diatur dalam Undang-Undang Narkotika, antara lain Pasal 116 yang mengatur hukuman bagi pemberi narkotika golongan I, Pasal 127 Ayat (1) yang mengatur hukuman bagi pengguna ganja untuk kepentingan pribadi, Pasal 111 yang mengatur hukuman bagi kepemilikan ganja dalam bentuk tanaman, dan Pasal 112 yang mengatur hukuman bagi kepemilikan ganja dalam bentuk bukan tanaman.
Meskipun demikian, Undang-Undang Narkotika memberikan pengecualian terbatas untuk pemanfaatan ganja dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, serta sebagai reagensia diagnostik dan laboratorium, dengan syarat dan izin yang ketat. Meskipun beberapa negara maju telah melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis, Indonesia tetap mempertahankan kebijakan pelarangan dengan ancaman pidana yang cukup berat.
Dengan adanya regulasi yang ketat terkait ganja di Indonesia, masyarakat diimbau untuk lebih memahami aturan hukum yang berlaku dan tidak menyalahgunakan ganja dalam bentuk apapun. Peredaran ganja yang ilegal juga terus diawasi dan ditindak oleh pihak berwenang seperti Polda Metro Jaya yang berhasil menggagalkan peredaran ganja seberat 6 kg di Jakarta Timur. Seruan ini penting untuk memastikan bahwa penggunaan ganja tetap terkendali dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.