Pada tahun 1967, pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan kebijakan legalisasi perjudian yang kontroversial. Langkah tersebut diambil untuk mengalihkan aliran dana dari perjudian ilegal ke arah yang lebih terstruktur dan menguntungkan pemerintah daerah. Dengan melokalisasi perjudian ke kawasan khusus, pemerintah berharap dapat meningkatkan pendapatan APBD. Meskipun menghadapi kritik keras dari masyarakat yang menilai kebijakan tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai keagamaan dan moralitas Indonesia, Ali Sadikin membela langkahnya dengan mengatakan bahwa persentase maksiat di Jakarta masih lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia. Dampak dari legalisasi perjudian nampak pada peningkatan dana APBD Jakarta yang signifikan, memungkinkan pemerintah untuk meluncurkan berbagai proyek pembangunan penting seperti gedung-gedung publik, rumah sakit, dan infrastruktur jalan. Meskipun menuai kritik, Ali Sadikin tetap mempertahankan kebijakannya hingga pada tahun 1974, perjudian di Jakarta resmi dilarang oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang No.7 tahun 1974.
Meskipun legalisasi perjudian berakhir, praktik perjudian tetap berlanjut dengan skema yang berbeda di bawah pemerintahan Orde Baru. Meski kontroversial, langkah Ali Sadikin dalam melegalkan perjudian di Jakarta memberikan gambaran tentang dampak-dampak yang timbul dari kebijakan tersebut. Selain menarik kritik keras, langkah tersebut juga memberikan pembelajaran tentang kompleksitas masalah moral, keuangan, dan pembangunan dalam konteks tertentu. Ali Sadikin menghadapi tantangan keras dari masyarakat, namun keberhasilannya dalam meningkatkan pendapatan daerah melalui legalisasi perjudian memberikan gambaran tentang kompleksitas dan dampak dari keputusan politik yang kontroversial.