Jemaah Haji Indonesia kerap menjadi korban penipuan di Tanah Suci Makkah. Pengetahuan yang minim membuat mereka rentan terhadap tindakan curang, seperti yang terjadi pada tahun 1900-an. Para jemaah tidak menguasai bahasa Arab dan kurang paham akan tata cara ibadah haji, sehingga mudah tertipu oleh warga Arab. Mereka sering diminta melakukan ziarah tambahan dan ritual lain yang berujung pada pengeluaran uang tambahan. Sebagian warga Arab juga memanfaatkan keyakinan jemaah tentang air zamzam untuk meminta bayaran, padahal seharusnya air tersebut diberikan secara gratis oleh pemerintah Arab Saudi.
Kasus penipuan juga terjadi dalam bentuk penitipan uang, di mana orang Arab menyamar sebagai syekh haji dan mengaku sebagai tempat penitipan uang untuk keperluan ibadah haji. Hal ini membuat jemaah Indonesia secara mudah menyerahkan uang tanpa menyadari adanya penipuan. Kurangnya informasi dan pemahaman membuat jemaah Indonesia menjadi sasaran empuk bagi penipu di Tanah Suci. Dorongan untuk memberikan sumbangan wakaf pun dimanfaatkan, seperti kasus penjualan tiang Masjidil Haram yang tidak pernah tercatat dalam sejarah.
Para penipu di Makkah menjuluki jemaah Indonesia sebagai ‘hewan ternak’ karena mudah dikelabui. Mereka dianggap seperti ternak yang bisa dimanfaatkan dan diperas, sebagaimana yang diungkapkan dalam sejarah masa silam. R.A Wiranatakusumah bahkan menyarankan agar jemaah Indonesia tidak membawa uang berlebihan, agar terhindari dari kasus penipuan di Tanah Suci. Dengan pemahaman yang lebih baik dan waspada terhadap praktik penipuan, diharapkan jemaah haji Indonesia dapat menghindari kejadian serupa di masa depan.