Pekan lalu, Indonesia dan Malaysia mencapai kesepakatan penting soal pengelolaan bersama Blok Ambalat, wilayah kaya sumber daya alam yang telah lama jadi sengketa. Meski disambut sebagai langkah maju dalam hubungan bilateral, kesepakatan ini justru memicu keresahan di negara bagian Sabah, Malaysia. Blok Ambalat memang kerap jadi sumber ketegangan, kembali memanaskan politik Malaysia. Lantas, bagaimana duduk perkaranya?
Ribuan tahun silam, saat kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara berdiri, konsep perbatasan belum menjadi sesuatu yang penting. Sebab, sistem kekuasaan saat itu bersifat poros. Semua berubah ketika kolonialisme Barat masuk. Konsep batas wilayah mulai diperkenalkan oleh kekuatan kolonial seperti Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugal. Dari sinilah terbentuk wilayah-wilayah yang kelak menjadi Indonesia, Malaysia, Laos, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Blok Ambalat.
Bom Waktu Warisan Kolonial telah mewariskan konflik di sekitar Blok Ambalat yang dikhawatirkan dapat mengganggu kepentingan kedua negara. Ambalat merupakan laut strategis yang diyakini mengandung cadangan minyak dan gas yang bernilai ekonomis. Persengketaan atas Ambalat telah muncul sejak 1979, ketika Malaysia mengeluarkan Peta Nasional yang memicu kontroversi di kalangan negara tetangga. Indonesia sendiri memperkuat klaimnya lewat Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982, yang menetapkan Ambalat sah masuk wilayah Indonesia.
Meski demikian, Malaysia tetap mengklaim wilayah Ambalat dan bahkan memberikan konsesi minyak kepada sebuah perusahaan minyak. Hal ini memperuncing konflik perbatasan antara kedua negara, menunjukkan bahwa Ambalat tetap menjadi titik sensitif dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Dengan sejarah dan hukum internasional sebagai dasarnya, penyelesaian konflik Ambalat masih menunggu solusi yang akhir untuk kedua belah pihak.