Thailand tengah dilanda kekacauan akibat penolakan PM Paetongtarn Shinawatra untuk mengundurkan diri setelah bocornya percakapan rahasia dengan eks-PM Kamboja, Hun Sen, terkait masalah perbatasan. Gejolak politik di Negeri Gajah Putih bukan hal baru, tercatat peristiwa besar 339 tahun silam yang dipicu oleh Daeng Mangalle, seorang bangsawan asal Kerajaan Gowa. Di Thailand, Daeng Mangalle diterima oleh Raja Ayutthaya, Phara Narai, dan diangkat sebagai bendahara kerajaan, posisi yang setara dengan menteri keuangan dalam konsep negara-bangsa modern. Namun, perjalanan Daeng Mangalle tak berjalan mulus ketika dia dituduh berencana kudeta tanpa bukti yang cukup, sehingga memicu konflik besar.
Dalam upaya melawan fitnah tersebut, Daeng Mangalle dan pengikutnya, yang kebanyakan berasal dari Makassar, melawan dengan senjata. Ini membuat Siam dilanda kerusuhan. Raja Ayutthaya mencoba melunak namun Daeng Mangalle menolak untuk mengakui kesalahannya. Pertempuran pun berlanjut, dimulai dengan serbuan pasukan militer Prancis, Claude de Forbin, yang akhirnya dibalas oleh ratusan prajurit Makassar. Meskipun pasukan Siam harus menelan kekalahan telak, pertempuran harus berlanjut hingga akhir-akhirnya Daeng Mangalle tewas setelah terkena luka parah.
Sayangnya, kekalahan itu tak hanya berakhir dengan pembantaian terhadap para prajurit Makassar yang selamat, tetapi juga pemberian hukuman kejam terhadap perempuan dan anak-anak mereka. Kisah sejarah ini membawa nilai-nilai kehidupan dari masa lalu yang patut menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan saat ini. CNBC Insight menyajikan ulasan sejarah seperti ini untuk menggambarkan keterkaitan antara masa lalu dan masa kini, serta memberikan nilai-nilai yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.