Ada orang yang mungkin berpikir bahwa nama-nama pengusaha Indonesia seperti Djoko Susanto, Sudono Salim, Budi Hartono, Prajogo Pangestu, adalah “asli” sejak mereka lahir. Namun, di balik penamaan tersebut, mereka sebenarnya adalah keturunan Tionghoa. Mereka pada awalnya memiliki nama Tionghoa, seperti pendiri Indomie Liem Sie Long (Sudono Salim) atau pendiri Alfamart Kwok Kwie Fo (Djoko Susanto). Hanya saja mereka terpaksa meninggalkan identitas Tionghoa karena aturan di masa Presiden Soeharto berkuasa.
Liem Sioe Liong atau dikenal dengan nama Indonesia Sudono Salim, adalah seorang pengusaha Indonesia. Amy Freedman dalam “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia” (2010) menjelaskan bahwa Soeharto ingin orang-orang Tionghoa melakukan asimilasi karena mereka dianggap sebagai bukan warga asli atau pribumi.
Alhasil, Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang Kebidjaksaan Pokok Jang Menjangkut Warga Keturunan Asing, lahir. Melalui aturan tersebut, warga keturunan asing, termasuk etnis Tionghoa, diharuskan mengganti nama. Ketakutan Soeharto terhadap China dan kebudayaannya jelas tidak baik. Sosiolog Mely G Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebut kebijakan tersebut melanggar hak asasi mengenai ekspresi kebudayaan suatu kelompok. Dalam hal ini kebudayaan Tionghoa jelas membuatnya terhapus.
Beruntung aturan diskriminasi tersebut berakhir saat Orde Baru runtuh. Di awal reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan aturan yang mencabut seluruh aturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan Soeharto. Orang Tionghoa bisa mengekspresikan kembali kebudayaannya secara bebas, termasuk juga perayaan Tahun Baru Imlek. Meski begitu, diskriminasi terhadap orang Tionghoa tidak serta merta hilang begitu saja karena sudah telanjur mengakar.