Beberapa relawan keraton yang dikenal dengan sebutan abdi dalem membawa gunungan kurban dalam upacara Grebeg Syawal di Keraton Yogyakarta. Mereka memperoleh gunungan tersebut di masa pandemi Covid-19. Gunungan ini melambangkan semangat gotong royong masyarakat yang tetap terjaga meskipun dalam situasi sulit.
Barangkali baru-baru ini kita sering melihat anak pejabat tinggi negara yang mencapai kesuksesan dalam mencari pekerjaan atau posisi berkuasa dengan memanfaatkan nama besar orang tuanya. Dengan cara “mengiklankan” nama besar orang tua, diharapkan orang lain semakin mengenal dan menghormati anak tersebut.
Namun, kita harus belajar dari tokoh bernama Soesalit. Meskipun namanya tidak sepopuler ibunya, yaitu R.A. Kartini, Soesalit memilih untuk tidak menggunakan nama besar ibunya untuk meraih kesuksesan.
Soesalit lahir dari keluarga bangsawan, ayahnya adalah seorang Bupati, dan ibunya adalah Kartini, seorang pemikir visioner. Meskipun memiliki hak untuk menggantikan ayahnya sebagai Bupati, Soesalit memilih untuk menolaknya. Dia memilih untuk bergabung dengan tentara pada tahun 1943 dan akhirnya menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia.
Soesalit terlibat dalam berbagai pertempuran melawan Belanda dan naik pangkat dengan cepat. Puncak karirnya sebagai tentara terjadi pada tahun 1946 ketika dia diangkat sebagai Panglima Divisi II Diponegoro yang bertugas menjaga ibu kota di Yogyakarta.
Meskipun Jarang orang yang tahu bahwa Soesalit adalah anak dari Kartini, dia tetap memilih untuk tidak menjual nama besar ibunya. Dia hidup dengan sederhana sebagai seorang veteran tanpa meminta hak-haknya sebagai veteran. Soesalit meninggal pada tanggal 17 Maret 1962 dengan tetap memegang prinsipnya untuk tidak mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan Kartini.