Pensiun dari Negara Diberikan kepada Soekarno atas Jasa Besar bagi RI

by -30 Views
Pensiun dari Negara Diberikan kepada Soekarno atas Jasa Besar bagi RI

Aturan di Indonesia menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menerima kenang-kenangan dari negara setelah masa jabatannya berakhir. Salah satunya adalah berupa rumah atau tanah. Presiden Joko Widodo dilaporkan akan diberikan rumah di Colomadu, Karanganyar dengan luas 1.500 m2 setelah menjabat pada tahun 2024 mendatang.

Namun, kenang-kenangan masa pensiun ini tidak dirasakan oleh Presiden pertama Indonesia, yaitu Presiden Soekarno. Putri ketiga Soekarno, Rachmawati, mengakui bahwa uang pensiun yang seharusnya diterima oleh keluarga dari negara tidak pernah ada.

Hal ini sejalan dengan kehidupan Soekarno setelah tidak menjabat lagi. Seluruh kehormatan yang pernah ia dapatkan hilang begitu saja.

Hal ini terjadi setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pamor Soekarno mulai menurun karena terjadi kemarahan dari masyarakat karena ia terkesan melindungi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan sumber kekesalan. Puncaknya adalah saat Jenderal Soeharto muncul dan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) menjadi modalnya.

Melalui surat tersebut, Soeharto tidak hanya bertindak untuk menjaga ketertiban negara, tetapi juga menggoyangkan jabatan Soekarno. Akhirnya, tindakan Soeharto tersebut berujung pada peralihan kekuasaan secara resmi dalam sidang MPRS pada 12 Maret 1967. Pada sidang tersebut, pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak.

MPRS malah melantik Soeharto menjadi Presiden Indonesia kedua. Sejak itu, Soekarno menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa, namun dengan pangkat berbeda.

Menurut Peter Kasenda dalam bukunya “Hari-hari Terakhir Sukarno” (2013), setelah berhenti menjabat, Soekarno diberi perintah oleh Presiden Soeharto untuk meninggalkan Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Tempat yang sebelumnya menjadi tempat kehormatan untuk Soekarno harus ditinggalkannya.

Sebagai gantinya, Soekarno diizinkan tinggal di paviliun sekitar Istana Bogor. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa tidak nyaman dan meminta untuk pindah. Akhirnya, ia menetap di Wisma Yasoo, Jakarta pada tahun 1967 dengan pengawasan dan izin dari Soeharto. Dapat dikatakan bahwa saat itu, Soekarno adalah tahanan politik rezim Orde Baru.

Selama menjadi rakyat biasa, Soekarno tinggal sendirian di rumah. Tidak ada anggota keluarga yang menemaninya atau menjenguknya. Jika ada kunjungan, itu dilakukan dengan pengawasan ketat dalam waktu yang terbatas. Satu-satunya yang mengawasi dan menginterogasi Soekarno tentang keterlibatannya dalam peristiwa G30S adalah tentara.

Menurut Asvi Warman Adam dalam bukunya “Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?” (2010), interogasi tersebut membuat Soekarno merasa sangat depresi. Tentara terus menerus mengajukan pertanyaan yang sama setiap hari, ditambah dengan kondisi sakit yang harus ditahannya.

Sebelum jatuh dari jabatannya, Soekarno menderita penyakit ginjal yang cukup parah. Dengan kondisi kesehatannya yang seperti itu, seharusnya ia mendapatkan perawatan yang terbaik selama pensiun. Sayangnya, itu tidak terjadi. Ia hanya mendapatkan pengobatan yang disediakan oleh dokter tanpa bantuan penuh dari rumah sakit.

Menurut Julius Pour dalam bukunya “Gerakan 30 September” (2011), apa yang dialami oleh Soekarno di masa tuanya sangat mengubah hidupnya. Ia menjadi pikun dan sering berbicara sendiri tanpa lawan.

Kesehatannya semakin memburuk dari hari ke hari. Akhirnya, Soekarno meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1970. Setelah kepergian Bung Karno, keluarganya harus hidup dengan kesulitan. Soekarno tidak meninggalkan warisan dan, seperti yang diungkapkan sebelumnya, tidak menerima uang pensiun dari negara. Akibatnya, anak-anaknya harus hidup mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.