Soekarno Melarang Orang Tionghoa Berbisnis di Indonesia Demi Hal Ini

by -35 Views
Soekarno Melarang Orang Tionghoa Berbisnis di Indonesia Demi Hal Ini

Semua orang tahu bahwa orang Tionghoa pandai berdagang. Sejarah Indonesia mencatat bahwa mereka sudah berdagang jauh sebelum para penjajah Eropa datang. Bahkan, kepiawaian mereka dalam berdagang membuat orang Indonesia mengira bahwa semua keturunan Tionghoa di Indonesia kaya raya. Namun, faktanya tidak semua orang Tionghoa kaya raya.

Meskipun demikian, hal ini tidak mengubah fakta bahwa orang Tionghoa pandai berdagang. Saat ini, dengan arus globalisasi, fakta tersebut masih tetap ada, bahkan warga Tionghoa sangat mendominasi perdagangan. Namun, fakta ini terkadang memicu sikap rasialis, seperti yang dilakukan oleh Soekarno pada tahun 1959. Bagaimana ceritanya?

Setelah Soekarno mengusir puluhan ribu warga Belanda dan menasionalisasi bisnis mereka pada tahun 1957, komunitas Tionghoa muncul sebagai elemen terkuat dalam perekonomian. Di pedesaan, orang Tionghoa memiliki fondasi ekonomi yang kuat, terutama dalam sektor pertanian. Namun, pada tahun 1959, Menteri Perdagangan Rachmat mengeluarkan larangan bagi warga Tionghoa untuk berbisnis di pedesaan.

Aturan ini kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh Soekarno. Aturan ini membatasi pedagang asing untuk berbisnis di pedesaan hingga akhir tahun 1959, setelahnya mereka harus berbisnis di perkotaan. Aturan ini secara tidak langsung ditujukan kepada bisnis orang Tionghoa.

Pelaksanaan aturan tersebut didukung oleh tentara, yang memindahkan paksa warga Tionghoa di pedesaan ke daerah lain atau perkotaan, bahkan ada yang dipulangkan ke China. Meskipun ada yang mendukung kebijakan tersebut, banyak yang menentangnya, termasuk Partai Komunis Indonesia. Mereka merasa bahwa kebijakan tersebut bersifat rasialis dan tidak memberi manfaat pada ekonomi Indonesia.

Namun, setelah pemindahan dan pengusiran warga Tionghoa, situasi ekonomi Indonesia justru semakin kacau. Bisnis-bisnis yang ditinggalkan oleh warga Tionghoa tidak terurus, karena tidak ada pengusaha pribumi yang mampu mengelolanya. Di tingkat internasional, kebijakan ini juga merusak hubungan Indonesia-China.

Akhirnya, peraturan tersebut dihentikan sementara, karena menyadari bahwa larangan tersebut tidak membuat ekonomi Indonesia membaik. Pada akhirnya, peraturan rasialis tersebut tidak dilanjutkan lagi oleh Soekarno.