Kaisar China Terbuang dari Istana, Dipenjara & Menjadi Tukang Kebun Pemerintah

by -29 Views
Kaisar China Terbuang dari Istana, Dipenjara & Menjadi Tukang Kebun Pemerintah

Jakarta, CNBC Indonesia – Bayangkan betapa nikmatnya menjadi orang nomor satu di negara monarki absolut. Orang tersebut pasti akan dihormati, hidup nyaman di istana, dan tentu saja memiliki kekayaan yang melimpah.

Setidaknya itu yang ada dalam pikiran keturunan Kaisar China. Salah satunya adalah Puyi, Kaisar China ke-12 dari Dinasti Qing.

Sejak diangkat sebagai penguasa pada usia 2 tahun, orang-orang bisa membayangkan kehidupan yang nikmat bagi Puyi seumur hidupnya. Namun, kehidupan Puyi tidak seindah yang dibayangkan.

Di tengah jalan, Puyi harus diusir dari istana dan mengalami kehidupan yang tragis. Dia harus hidup sebagai tahanan dan tukang kebun.

Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Puyi memang menjadi kaisar dalam usia yang sangat muda, yaitu 2 tahun. Namun, dia berkuasa pada saat yang tidak tepat.

Pada tahun 1908, suara nasionalisme dan reformis anti-kekaisaran mulai berkumandang di masyarakat. Posisi Puyi sedikit terancam.

Namun, sebagai seorang anak kecil, dia tidak mengerti tentang kondisi tersebut. Dia terus hidup sebagai kaisar dan menikmati segala keistimewaan.

Kekayaan dan penghormatan. Semua itu berlangsung sampai dia tumbuh dewasa dan membuatnya menjadi anak yang manja.

Pada tahun 1911, pada usia Puyi yang ke-5, gelombang reformasi berhasil menjatuhkan kekaisaran China. Pada saat itu, kekuasaan Puyi berakhir, sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan monarki China yang telah berumur ribuan tahun.

Namun, Puyi masih belum diusir dari istana. Kelompok reformis masih mengizinkannya tinggal di istana bersama keluarga lain.

Sehingga, Puyi tetap hidup dalam kemewahan. Bahkan, dia bertindak seenaknya seolah-olah dia masih menjadi seorang raja.

Dalam buku “From Emperor to Citizen” (1961), dia mengungkap bahwa sering memukuli para pelayannya. Tindakan ini semakin menjadi-jadi ketika para pelayannya melakukan kesalahan.

Namun, tindakan kejam ini masih dianggap wajar karena dia masih dianggap sebagai penguasa. Posisi Puyi yang berada di ujung tanduk baru terjadi pada tahun 1924.

Kelompok militer anti-dinasti di bawah pimpinan Feng Yuxiang berhasil mengusir Puyi yang berusia 18 tahun dari istana di Beijing. Meskipun begitu, kehidupan Puyi tidak berakhir begitu saja karena dia mencari suaka di Jepang dan tiba-tiba menjadi Kaisar Manchukuo di bawah kekuasaan Jepang pada tahun 1934.

Menurut biografi Puyi yang ditulis oleh Edward Samuel Behr dalam buku “The Last Emperor” (1987), keputusan Puyi untuk menjadi Kaisar Manchukuo membuat elit China menganggapnya sebagai pengkhianat. Bahkan, dia didesak untuk dihukum.

Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, Puyi menjadi target utama dan langsung ditahan oleh sekutu China, Rusia. Penahanan ini mengakhiri hidup Puyi.

Dari seorang kaisar yang kaya, dia berubah menjadi warga biasa. Dia hanya bisa menyendiri di balik jeruji besi.

Selama penahanan militer, dia tidak diperlakukan secara istimewa. Dia diperlakukan sama seperti tahanan perang lainnya.

Pada titik ini, Puyi mengaku takut akan dihukum mati. Karena pemerintah baru China di bawah Mao Zedong diperkirakan akan mengeksekusinya.

Namun, ketakutannya hilang ketika dia kembali ke China. Mao Zedong tidak menghukum mati Puyi.

Sebaliknya, Puyi diberi tanah dan rumah di Beijing. Namun, dengan syarat bahwa dia harus setia kepada paham komunis dan meninggalkan mentalitas saat dia menjadi kaisar.

Dia patuh kepada syarat tersebut. Setelah itu, Puyi hidup seperti orang biasa.

Tidak ada kemewahan dari negara. Dia tidak lagi makan dengan sendok emas dan hidup sendirian tanpa pembantu.

Untuk mencari penghasilan, sang Kaisar China terakhir harus bekerja sebagai tukang kebun di kebun milik pemerintah. Semua itu dijalani Puyi sampai dia meninggal pada 17 Oktober 1967.

(mfa/sef)