Tanah merupakan salah satu instrumen investasi yang berharga dan menjadi impian hampir setiap orang. Kendati memiliki nilai harga yang selalu naik, namun ada seseorang yang rela membagikan tanah miliknya secara cuma-cuma.
Hal ini dilakukan oleh Cornelis Chastelein, yakni orang terkaya di Jakarta pada tahun 1700-an. Baginya, memiliki harta berlimpah hanya bisa dinikmati di dunia dan selepas tutup usia, hal-hal duniawi tidak ikut dibawa mati.
Pada saat itu, Chastelein adalah pegawai VOC selama 20 tahun. Dia memulai karir di kongsi dagang itu sejak usia 20-an. Dari semula hanya pengawas gudang, tapi perlahan terus naik jabatan hingga menjadi saudagar utama dan anggota dewan Kota Batavia (kini Jakarta).
Selama bertugas, pria kelahiran 1658 itu mendapat gaji bulanan sekitar 200-350 gulden. Angka tersebut cukup besar pada masanya. Tapi, dia jadi salah satu orang yang cukup pintar mengelola uang.
Alih-alih dihamburkan, gaji tersebut dialihkan untuk membeli tanah di sekeliling Batavia. Dalam Depok Tempo Doeloe (2011) dijelaskan, tanah pertama yang dibelinya pada 1693 itu berada di kawasan Weltevreden yang kini disebut Gambir. Tanah tersebut lantas difungsikan untuk menanam tebu.
Dua tahun setelahnya, Chastelein memutuskan pensiun dari VOC dan kemudian membeli lagi tanah di Serengseng yang kini disebut Lenteng Agung. Di lahan baru inilah dia menikmati masa pensiun dan menjalani kehidupan baru sebagai tuan tanah. Di sana dia membangun rumah besar dan banyak membawa orang, tak hanya keluarga.
“Ketika pindah ke Seringsing, Chastelein bukan hanya membawa keluarganya melainkan juga budak-budaknya,” tulis Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an (2017:41), dikutip Minggu (18/8/2024).
Total budak yang dibawa mencapai 150 orang. Para budak umumnya dari luar Jawa dan kemudian di antaranya menganut agama Kristen. Tak seperti orang lain, Chastelein sangat menghormati budak-budaknya.
Sebagai kristen yang taat, dia memahami persoalan hak asasi manusia, sehingga sangat menyayangi mereka. Atas dasar ini pula, dia membebaskan semua budaknya.
Para bekas budak yang kemudian jadi anak buah lantas ditugaskan Chastelein mengelola rumah besar di Serengseng. Selain itu mereka juga ditugaskan mengurus perkebunan yang baru saja dibelinya di kawasan Mampang dan Depok. Seluruh lahan itu menghasilkan tanaman penghasil cuan pada masanya, seperti tebu, lada, pala dan kopi.
Semua itu lantas membuat Chastelein makin kaya raya. Dia jadi salah satu orang terkaya di Batavia sebelum akhirnya tutup usia pada 28 Juni 1714. Setelah wafat, orang-orang tak ribut kemana perginya harta dan tanah miliknya.
Pasalnya tiga bulan sebelum wafat, tepat pada 13 Maret 1714, dia sudah menuliskan surat wasiat. Dia ingin seluruh hartanya tak hanya dibagikan kepada keluarga, tapi juga dibagikan gratis kepada para bekas budak-budaknya yang dimerdekakan. Tujuannya supaya mereka bisa mandiri dan sejahtera.
Selain itu dia juga ingin tanah tersebut berfungsi sebagai tempat penyebaran agama Kristen di Batavia. Para bekas budak itu lantas mengoptimalkan lahan untuk kepentingan masing-masing. Salah satunya menjadi cikal bakal pembentukan Kota Depok modern dan melahirkan istilah ‘Belanda Depok’.