Setiap tahun, animo masyarakat Muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi. Haji merupakan ibadah penting dalam Islam yang juga dianggap sebagai simbol status sosial. Namun, biaya yang diperlukan untuk perjalanan panjang dan rangkaian ibadah yang berlangsung dalam waktu lama sangat besar. Pada masa lalu, sejarah mencatat bahwa banyak masyarakat Indonesia yang harus berutang untuk dapat menunaikan haji. Pergi haji saat masa penjajahan Belanda, misalnya, memerlukan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sekarang. Para calon haji harus membayar biaya transportasi kapal, akomodasi selama perjalanan, keperluan ibadah di Makkah, serta biaya perjalanan pulang. Tidak heran jika banyak dari mereka harus mencari pinjaman, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang penghasilannya tidak mencukupi. Berdasarkan sejarah, ditemukan bahwa pada tahun 1876 saja, 30% jamaah haji Indonesia menjadi tuna wisma di Arab Saudi karena tergolong jemaah haji yang pergi dengan berutang. Setelah menunaikan ibadah haji, masalah baru biasanya muncul ketika para jemaah kembali ke tanah air. Banyak dari mereka yang tidak memiliki uang untuk mengembalikan pinjaman yang mereka ambil sebelumnya. Ini mengakibatkan mereka terpaksa menyerahkan objek jaminan atau bahkan bekerja secara paksa untuk melunasi utang mereka. Meskipun berutang untuk menunaikan haji sudah menjadi hal lumrah, masih ada orang-orang dari kelas bawah yang berusaha untuk tidak berutang. Dalam kisah sejarah, ada yang menjual tanah, ladang, perhiasan, hewan ternak, bahkan berbagai aset lainnya demi biaya haji. Mereka harus berjuang keras demi memenuhi kewajiban agama dan tidak terlilit utang. Tantangan ini menjadi bagian cerita perjalanan haji di masa lalu yang patut diingat.
Utang Haji Warga RI: Beresiko Rentenir
