Pada debat ketiga Pilpres 2024, Minggu (7/1/2024), calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, mengatakan Presiden Soekarno menggunakan peralatan tempur bekas saat perang pembebasan Irian Barat.
“Saya ingatkan, Bung Karno waktu menghadapi Irian Barat, seluruh alatnya bekas. Pak Ganjar, Bung Karno, seluruh pesawat terbang, kapal selam, cruiser, destroyer, semuanya bekas. Jadi, kita juga masih pakai banyak, sampai sekarang, pesawat bekas,” katanya.
Pernyataan Prabowo tersebut lantas membuat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, angkat bicara. Dia membantah pernyataan Prabowo soal pembelian alutsista bekas di era Soekarno.
“Pernyataan Pak Prabowo pada masa Bung Karno itu juga menggunakan peralatan bekas, tapi itu konteksnya berbeda. Banyak peralatan baru yang dipakai oleh Bung Karno guna membebaskan Irian Barat seperti peralatan dari Yugoslavia bahkan yang sebagian dipakai untuk pembebasan Aljazair,” katanya.
Bagaimana fakta sejarah soal alutsista di masa Perang Irian Barat?
Sebagai catatan, Perang Irian Barat atau Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) adalah bagian dari pembebasan tanah Papua oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kala itu, militer Indonesia ingin mengambilalih tanah Papua yang sejak 17 Agustus 1945 berada di tangan Belanda.
Untuk mendukung operasi ini pemerintah Indonesia lantas mencari dukungan militer dari dua kekuatan besar saat itu, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Namun, setelah AS tak bisa diharapkan dalam mendapatkan persenjataan canggih untuk menghadapi Belanda di Papua, Presiden Soekarno akhirnya menjadikan Uni Soviet tempat berpaling. Uni Soviet dan kolega Blok Timur lebih bisa diharapkan untuk mendapatkan senjata canggih daripada Amerika.
Soekarno pun mengutus dua pejabat Indonesia untuk melakukan diplomasi dengan negara komunis itu pada 1960.
“Bung Karno mengutus Menteri Luar Negeri RI dr Subandrio dan Jenderal Abdul Haris Nasution ke Moscow dalam rangka pembelian senjata yang harganya mencapai US$ 250 juta,” aku Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008:292-293).
Selain itu, catatan lain juga diungkap oleh sejarawan M.C Rickfles dalam Sejarah Indonesia Modern (1999). Dia mencatat pada bulan Januari 1960 Khrushchev (PM Uni Soviet) berkunjung ke Jakarta dan memberikan kredit sebesar US$ 250 juta kepada Indonesia.
Lalu, pada bulan Januari 1961 Nasution (Menteri Pertahanan Indonesia) pergi ke Moskow dan memperoleh pinjaman sebesar US$ 450 juta dalam bentuk persenjataan dari Uni Soviet. Semua itu bukan berbentuk uang, tetapi berupa bantuan militer persenjataan.
Bantuan itu, menurut Ricklefs, sebagian besar jatuh ke tangan Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang dianggap Soekarno lebih kooperatif.
Tercatat, setelahnya Indonesia mendapat 12 kapal selam, 22 kapal cepat berudal, 4 kapal penyapu ranjau, dan KRI Irian yang jadi kapal perang terbesar yang dimiliki negara di belahan bumi Selatan. Sedangkan, untuk Angkatan Udara mendapat puluhan pesawat pemburu supersonic, pesawat MiG 15, dan pesawat pembom jarak jauh Tu-16 Tupolev.
Sejauh ini sulit untuk mengetahui apakah seluruh bantuan militer dari Uni Soviet itu armada bekas atau tidak. Satu hal yang pasti adalah fakta kalau bantuan Soviet membuat militer Indonesia semakin kuat karena menggunakan senjata dan teknologi perang yang dipakai negara adidaya. Bisa dikatakan, militer Indonesia selevel dengan Uni Soviet.
Terlepas dari armada bekas atau tidak, bantuan persenjataan Uni Soviet kemudian sukses mempercundangi militer Belanda. Kapal Irian 201, belasan kapal selam, dan pesawat pembom sukses menenggelamkan HNLMS Karel Doorman milik Belanda. Pada akhirnya, kesuksesan ini membuat Indonesia dihormati dan kemudian membuka jalan perundingan soal Irian Barat.