Menyambut Lebaran, warga Indonesia banyak melakukan transaksi untuk merayakan Hari Raya. Mulai dari membeli baju baru, mudik, hingga memasak makanan khas Lebaran. Tradisi ini telah ada sejak ratusan tahun lalu dan mendapat berbagai tanggapan, termasuk dari orang Belanda pada masa kolonial yang menganggapnya sebagai pemborosan.
Stienmetz dan De Wolff, dua pejabat Belanda pada masa itu, menentang tradisi Lebaran warga Muslim Indonesia karena banyak pegawai pribumi yang mengadakan pesta besar dengan modal pinjaman uang. Mereka bahkan melihat perayaan Lebaran yang menggunakan kas negara sebagai bentuk pemborosan. Namun, usulan larangan ini dikritik oleh Snouck Hurgronje, penasihat agama Islam pemerintah kolonial Belanda, yang menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk membatasi perayaan Lebaran.
Snouck meneliti tradisi Lebaran di Indonesia pada awal abad ke-20 dan menemukan bahwa di Aceh, warga banyak membeli baju baru saat Lebaran. Hal ini karena dalam budaya Aceh, baju baru di hari raya menjadi simbol kasih sayang dan penghargaan. Selain itu, observasi serupa juga dilakukan di Batavia (kini Jakarta), di mana pembelian pakaian baru, makanan khas Lebaran, dan hiburan bisa menghabiskan lebih banyak uang daripada hari-hari biasa.
Pada masa itu, Lebaran dianggap sebagai salah satu hari yang istimewa bagi penduduk Indonesia, di mana tradisi membeli barang-barang baru dan rapat keluarga menjadi bagian penting dari perayaan. Snouck Hurgronje mencatatkan pengamatannya dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991) untuk mendokumentasikan budaya dan tradisi Lebaran warga Indonesia pada masa itu.